Translate

Cara Melanjutkan Baca

cara downlaod File :

1. klik file yang akan di download
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
3. klik unduh
4. lalu tunggu 20 detik mengunduh file tersebut

atau cuma ingin melanjutkan BACA Blog :

1. klik file yang akan di buka
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
http://seputarduniapengetahuan.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengunjung Saya


free statistics

Pengikut

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork
Senin, 24 September 2012
A. Kepribadian Advokat 
Advokat dapat menolak memberikan nasihat dan bantuan hukum dengan pertimbangan : 
1. Tidak sesuai dengan keahliannya 
2. Bertentangan dengan hati nuraninya 
Sebaliknya Advokat tidak boleh menolak memberikan bantuan hukum dengan alasan karena perbedaan agama,kepercayaan,suku,keturunan,jenis kelamin,keyakinan politik dan kedudukan social.  Advokat tidak bertujuan semata-mata untuk memperoleh imbalan materi,tetapi lebih mengutamakan tegaknya hukum, kebenaran dan keadilan. 
 Advokat dalam menjalankan tugasnya bebas dan mandiri serta tidak dipengaruhi oleh siapapun dan wajib mempertunjukan HAM. 

B. Hubungan dengan klient 
1. Advocat harus mengutamakan penyelesaian dengan jalan damai. 
2. Advokat tidak dibenarkan memberikan Keterangan yang dapat menyesatkan klien mengenai perkara yang sedang diurusnya. 
3. Advokat tidak dibenarkan Menjamin kepada klienya bahwa perkara yang ditanganinya akan menang. 
4. Dalam menentukan besarnya honorarium advokat wajib mempertimbangkan kemampuan klien. 
5. Advokat tidak dibenarkan membebani klien dengan biaya-biaya yang tidak perlu. 
6. Advokat memberikan perhatian yang sama terhadap perkara Cuma-Cuma (prodeo) 
7. Advokat harus menolak mengurus perkara yang tidak memiliki dasar hokum. 
8. Advokat wajib memegang rahasia jabatan 
9. Advokat tidak dibenarkan melepaskan tugas yang dibebankan kepadanya pada saat yang tidak menguntungkan posisi klien. 
10. Advokat yang mengurus kepentingan bersama dari dua pihak atau lebih harus mengundurkan diri 11. Hak retensi Advokat diakui sepanjang tidak menimbulkan kerugian bagi klien.\ 

C. Hubungan dengan Teman Sejawat 
1. Menhormati, menghargai dan saling mempercayai 
2. Menggunakan kata-kata yang sopan 
3. Keberatan atas tindakan teman sejawat harus dilaporkan kepada dewan kehormatan. 
4. Apabila klien mengganti Advokat, maka klien harus diingatkan memenuhi kewajiban terhadap Advokat yang diganti. 
5. Segala surat dan keterangan wajib diberikan kepada Advokat yang baru. 

D. Cara Bertindak Menangani Perkara 
1. Dalam Perkata perdata Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan Advokat pihak lawan. 
2. Dalam perkara pidana Advokat hanya dapat menghubungi hakim apabila bersama-sama dengan JPU. 
3. Advokat tidak dibenarkan mengajari atau mempengaruhi saksi-saksi. 

E. Larangan – Larangan 
1. Memasang iklan,papan nama dengan ukuran dan bentuk yang berlebihan untuk menarik perhatian 2. Membuka kantor di tempat yang dapat merugikan kedudukan martabat dan martabat. 
3. Mengijinkan orang yang bukan Advokat, mencantumkan namanya sebagai Advokat. 
4. Mengijinkan karyawan-karyawannya yang tidak memiliki kwalifikasi untuk mengurus perkara/member nasihat hukum. 
5. Mencari publisitas melalui media massa. 
6. Mantan hakim/panitera yang menjadi Advokat tidak boleh menangani perkara selama 3 Tahun. 

F. UU Advokat 
Bahan ajar mata kuliah Advokatur Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. 

G. Tugas Advokat 
Menurut UU 
1. Adalah orang yang memberi jasa hukum. 
2. Baik di dalam maupun diluar pengadilan. 
3. Yang memenuhi persyaratan 
4. Berdasarkan ketentuan UU ini. ( Pasal 1 angka 1 ) Siapakah yang dapat menjadi Advokat ? 
o Sarjana 
o Berlatar belakang pendidikan tinggi hukum 
o Mengikuti pendidikan khusus profesi advokat 
o Diangkat menjadi Advokat oleh Organisasi Advokat. 
Pasal 2 Ayat (1,2) Apa yang dimaksud dengan berlatar belakang pendidikan Tinggi hukum ? 
o Adakah lulusan fakultas hokum 
o Fakultas Syari’ah 
o Perguruan Tinggi hukum militer 
o Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Penjelasan pasal 2 Ayat (1) 
Apa saja persaratan agar dapat diangkat menjadi Advokat 
a. Warga Negara Republik Indonesia 
b. Bertempat tinggal di Indonesia 
c. Tidak bersetatus sebagai PNS atau pejabat Negara 
d. Berusia sekurang - kurangnya 25 Tahun 
e. Berijazah sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hokum. 
f. Lulus ujian yang diadakan oleh organisasi Advokat. 
g. Magang sekurang-kurangnya 2 tahun terus menerus pada kantor advokat. 
h. Tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana penjara 5 tahun atau lebih. 
i. Berperilaku baik,jujur, bertanggung jawab, adil dan mempunyai integritas yang asal. 
Status Advokat 
o Advokat bersetatus sebagai penegak hokum 
o Bebas dan mandiri 
o Dijamin oleh hokum dan peraturan perundang-undangan Pasal 5 ayat (1) 
Apa yang dimaksud Advokat sebagai penegak Hukum 
o Advokat sebagai salah satu perangkat 
o Dalam proses peradilan 
o Yang mempunyai kedudukan SETARA dengan penegak hukum lainnya 
o Dalam menegakkan hokum dan keadilan Penjelasan Pasal 5 ayat (1) 
Hak-hak advokat 
1. Bebas mengeluarkanpendapat atau peryataan dalam membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya di dalam siding pengadilan 
2. Bebas dalam menjalankan tugas profesinya untuk membela perkara yang menjadi tanggung jawabnya 
3. Advokat tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana dalam menjalankan tugas profesinya dengan I’tikad baik untuk kepentingan klien dalam siding pengadilan. 
4. Advokat berhak memperoleh informasi,data dan dokumen lainya baik dari instansi pemerintah maupun pihak lain. 
5. Advokat berhak menerima honorarium atas jasa hokum yang diberikan kepada kliennya. Yang dimaksud dengan bebas dalam menjalankan tugas profesinya adalah ? 
o Tanpa tekanan 
o Ancaman 
o Hambatan 
o Tanpa rasa takut 
o Atau perlakuan yang merendahkan harkat dan martabat profesi Penjelasan pasal 14 Yang dimaksud dengan I’tikad baik adalah 
o Menjalankan tugas profesi 
o Demi tegaknya keadilan berdasarkan hokum untuk membela kepentingan klien 
Penjelasan pasal 16 Kewajiban Advokat 1. Advokat wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahui atau diperoleh dari kliennya karena hubungan profesinya, kecuali ditentukan lain oleh UU; (Pasal 19 ayat 1) 2. Wajib memberikan bantuan hokum secara Cuma-Cuma kepada pencari keadilan yang tidak mampu; (pasal 22 ayat 1) 
Larangan terhadap Advokat 
1. Advokat dalam menjalankan profesinya dilarang membedakan perlakuan terhadap klien berdasarkan jenis kelamin, agama, politik, keturunan, ras, atau latar belakang social budaya; (pasal 18) 
2. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang bertentangan dengan kepentingan tugas dan martabat profesinya (pasal 20 ayat 1) 
3. Advokat dilarang memegang jabatan lain yang meminta pengabdian sedemikian rupa sehingga merugikan profesi Advokat atau mengurangi kebebasan dan kemerdekaan dalam menjalankan tugas profesinya; ( pasal 20 ayat 2 )

Untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download disni
Read More..
A. Pengertian Hukum Internasional 
Pada dasarnya yang dimaksud hukum internasional dalam pembahasan ini adalah hukum internasional publik, karena dalam penerapannya, hukum internasional terbagi menjadi dua, yaitu: hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hukum internasional publik adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara, yang bukan bersifat perdata. Sedangkan hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas negara, dengan perkataan lain, hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata yang berbeda. (Kusumaatmadja, 1999; 1) Awalnya, beberapa sarjana mengemukakan pendapatnya mengenai definisi dari hukum internasional, antara lain yang dikemukakan oleh Grotius dalam bukunya De Jure Belli ac Pacis (Perihal Perang dan Damai). Menurutnya “hukum dan hubungan internasional didasarkan pada kemauan bebas dan persetujuan beberapa atau semua negara. Ini ditujukan demi kepentingan bersama dari mereka yang menyatakan diri di dalamnya ”. Sedang menurut Akehurst : “hukum internasional adalah sistem hukum yang di bentuk dari hubungan antara negara-negara” Definisi hukum internasional yang diberikan oleh pakar-pakar hukum terkenal di masa lalu, termasuk Grotius atau Akehurst, terbatas pada negara sebagai satu-satunya pelaku hukum dan tidak memasukkan subjek-subjek hukum lainnya. Salah satu definisi yang lebih lengkap yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai hukum internasional adalah definisi yang dibuat oleh Charles Cheny Hyde : “ hukum internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan hukum yang sebagian besar terdiri atas prinsip-prinsip dan peraturan-peraturan yang harus ditaati oleh negara-negara, dan oleh karena itu juga harus ditaati dalam hubungan-hubungan antara mereka satu dengan lainnya, serta yang juga mencakup : a. organisasi internasional, hubungan antara organisasi internasional satu dengan lainnya, hubungan peraturan-peraturan hukum yang berkenaan dengan fungsi-fungsi lembaga atau antara organisasi internasional dengan negara atau negara-negara ; dan hubungan antara organisasi internasional dengan individu atau individu-individu ; b. peraturan-peraturan hukum tertentu yang berkenaan dengan individu-individu dan subyek-subyek hukum bukan negara (non-state entities) sepanjang hak-hak dan kewajiban-kewajiban individu dan subyek hukum bukan negara tersebut bersangkut paut dengan masalah masyarakat internasional” (Phartiana, 2003; 4) Sejalan dengan definisi yang dikeluarkan Hyde, Mochtar Kusumaatmadja mengartikan ’’hukum internasional sebagai keseluruhan kaidah-kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara, antara negara dengan negara dan negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subyek hukum bukan negara satu sama lain’’. (Kusumaatmadja, 1999; 2) Berdasarkan pada definisi-definisi di atas, secara sepintas sudah diperoleh gambaran umum tentang ruang lingkup dan substansi dari hukum internasional, yang di dalamnya terkandung unsur subyek atau pelaku, hubungan-hubungan hukum antar subyek atau pelaku, serta hal-hal atau obyek yang tercakup dalam pengaturannya, serta prinsip-prinsip dan kaidah atau peraturan-peraturan hukumnya. Sedangkan mengenai subyek hukumnya, tampak bahwa negara tidak lagi menjadi satu-satunya subyek hukum internasional, sebagaimana pernah jadi pandangan yang berlaku umum di kalangan para sarjana sebelumnya. 

B. Sejarah dan Perkembangan Hukum Internasional 
Hukum internasional sebenarnya sudah sejak lama dikenal eksisitensinya, yaitu pada zaman Romawi Kuno. Orang-orang Romawi Kuno mengenal dua jenis hukum, yaitu Ius Ceville dan Ius Gentium, Ius Ceville adalah hukum nasional yang berlaku bagi masyarakat Romawi, dimanapun mereka berada, sedangkan Ius Gentium adalah hukum yang diterapkan bagi orang asing, yang bukan berkebangsaan Romawi. Dalam perkembangannya, Ius Gentium berubah menjadi Ius Inter Gentium yang lebih dikenal juga dengan Volkenrecth (Jerman), Droit de Gens (Perancis) dan kemudian juga dikenal sebagai Law of Nations (Inggris). (Kusumaatmadja, 1999 ; 4) Sesungguhnya, hukum internasional modern mulai berkembang pesat pada abad XVI, yaitu sejak ditandatanganinya Perjanjian Westphalia 1648, yang mengakhiri perang 30 tahun (thirty years war) di Eropa. Sejak saat itulah, mulai muncul negara-negara yang bercirikan kebangsaan, kewilayahan atau territorial, kedaulatan, kemerdekaan dan persamaan derajat. Dalam kondisi semacam inilah sangat dimungkinkan tumbuh dan berkembangnya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum internasional. (Phartiana, 2003 ; 41) Perkembangan hukum internasional modern ini, juga dipengaruhi oleh karya-karya tokoh kenamaan Eropa, yang terbagi menjadi dua aliran utama, yaitu golongan Naturalis dan golongan Positivis. Menurut golongan Naturalis, prinsip-prinsip hukum dalam semua sistem hukum bukan berasal dari buatan manusia, tetapi berasal dari prinsip-prinsip yang berlaku secara universal, sepanjang masa dan yang dapat ditemui oleh akal sehat. Hukum harus dicari, dan bukan dibuat. Golongan Naturalis mendasarkan prinsip-prinsip atas dasar hukum alam yang bersumber dari ajaran Tuhan. Tokoh terkemuka dari golongan ini adalah Hugo de Groot atau Grotius, Fransisco de Vittoria, Fransisco Suarez dan Alberico Gentillis. (Mauna, 2003 ; 6) Sementara itu, menurut golongan Positivis, hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah prinsip-prinsip yang dibuat oleh negara-negara dan atas kemauan mereka sendiri. Dasar hukum internasional adalah kesepakatan bersama antara negara-negara yang diwujudkan dalam perjanjian-perjanjian dan kebiasaan-kebiasaan internasional. Seperti yang dinyatakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam bukunya Du Contract Social, La loi c’est l’expression de la Volonte Generale, bahwa hukum adalah pernyataan kehendak bersama. Tokoh lain yang menganut aliran Positivis ini, antara lain Cornelius van Bynkershoek, Prof. Ricard Zouche dan Emerich de Vattel Pada abad XIX, hukum internasional berkembang dengan cepat, karena adanya faktor-faktor penunjang, antara lain : (1) Setelah Kongres Wina 1815, negara-negara Eropa berjanji untuk selalu menggunakan prinsip-prinsip hukum internasional dalam hubungannya satu sama lain, (2). Banyak dibuatnya perjanjian-perjanjian (law-making treaties) di bidang perang, netralitas, peradilan dan arbitrase, (3). Berkembangnya perundingan-perundingan multilateral yang juga melahirkan ketentuan-ketentuan hukum baru. Di abad XX, hukum internasional mengalami perkembangan yang sangat pesat, karena dipengaruhi faktor-faktor sebagai berikut: (1). Banyaknya negara-negara baru yang lahir sebagai akibat dekolonisasi dan meningkatnya hubungan antar negara, (2). Kemajuan pesat teknologi dan ilmu pengetahuan yang mengharuskan dibuatnya ketentuan-ketentuan baru yang mengatur kerjasama antar negara di berbagai bidang, (3). Banyaknya perjanjian-perjanjian internasional yang dibuat, baik bersifat bilateral, regional maupun bersifat global, (4). Bermunculannya organisasi-organisasi internasional, seperti Perserikatan Bangsa Bangsa dan berbagai organ subsidernya, serta Badan-badan Khusus dalam kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyiapkan ketentuan-ketentuan baru dalam berbagai bidang. (Mauna, 2003; 7) 

C. Sumber-sumber Hukum Internasional 
Pada azasnya, sumber hukum terbagi menjadi dua, yaitu: sumber hukum dalam arti materiil dan sumber hukum dalam arti formal. Sumber hukum dalam arti materiil adalah sumber hukum yang membahas materi dasar yang menjadi substansi dari pembuatan hukum itu sendiri. Sumber hukum dalam arti formal adalah sumber hukum yang membahas bentuk atau wujud nyata dari hukum itu sendiri. Dalam bentuk atau wujud apa sajakah hukum itu tampak dan berlaku. Dalam bentuk atau wujud inilah dapat ditemukan hukum yang mengatur suatu masalah tertentu. Sumber hukum internasional dapat diartikan sebagai: 1. dasar kekuatan mengikatnya hukum internasional; 2. metode penciptaan hukum internasional; 3. tempat diketemukannya ketentuan-ketentuan hukum internasional yang dapat diterapkan pada suatu persoalan konkrit. (Burhan Tsani, 1990; 14) Menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah: 1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus; 2. Kebiasaan internasional (international custom); 3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; 4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. (Phartiana, 2003; 197) 

D. Subyek Hukum Internasional 
Subyek hukum internasional diartikan sebagai pemilik, pemegang atau pendukung hak dan pemikul kewajiban berdasarkan hukum internasional. Pada awal mula, dari kelahiran dan pertumbuhan hukum internasional, hanya negaralah yang dipandang sebagai subjek hukum internasional Dewasa ini subjek-subjek hukum internasional yang diakui oleh masyarakat internasional, adalah: 1. Negara Menurut Konvensi Montevideo 1949, mengenai Hak dan Kewajiban Negara, kualifikasi suatu negara untuk disebut sebagai pribadi dalam hukum internasional adalah: a. penduduk yang tetap; b. wilayah tertentu; c. pemerintahan; d. kemampuan untuk mengadakan hubungan dengan negara lain 1. Organisasi Internasional Klasifikasi organisasi internasional menurut Theodore A Couloumbis dan James H. Wolfe : a. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan secara global dengan maksud dan tujuan yang bersifat umum, contohnya adalah Perserikatan Bangsa Bangsa ; b. Organisasi internasional yang memiliki keanggotaan global dengan maksud dan tujuan yang bersifat spesifik, contohnya adalah World Bank, UNESCO, International Monetary Fund, International Labor Organization, dan lain-lain; c. Organisasi internasional dengan keanggotaan regional dengan maksud dan tujuan global, antara lain: Association of South East Asian Nation (ASEAN), Europe Union. 1. Palang Merah Internasional Sebenarnya Palang Merah Internasional, hanyalah merupakan salah satu jenis organisasi internasional. Namun karena faktor sejarah, keberadaan Palang Merah Internasional di dalam hubungan dan hukum internasional menjadi sangat unik dan di samping itu juga menjadi sangat strategis. Pada awal mulanya, Palang Merah Internasional merupakan organisasi dalam ruang lingkup nasional, yaitu Swiss, didirikan oleh lima orang berkewarganegaraan Swiss, yang dipimpin oleh Henry Dunant dan bergerak di bidang kemanusiaan. Kegiatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Palang Merah Internasional mendapatkan simpati dan meluas di banyak negara, yang kemudian membentuk Palang Merah Nasional di masing-masing wilayahnya. Palang Merah Nasional dari negar-negara itu kemudian dihimpun menjadi Palang Merah Internasional (International Committee of the Red Cross/ICRC) dan berkedudukan di Jenewa, Swiss. (Phartiana, 2003; 123) 1. Tahta Suci Vatikan Tahta Suci Vatikan di akui sebagai subyek hukum internasional berdasarkan Traktat Lateran tanggal 11 Februari 1929, antara pemerintah Italia dan Tahta Suci Vatikan mengenai penyerahan sebidang tanah di Roma. Perjanjian Lateran tersebut pada sisi lain dapat dipandang sebagai pengakuan Italia atas eksistensi Tahta Suci sebagai pribadi hukum internasional yang berdiri sendiri, walaupun tugas dan kewenangannya, tidak seluas tugas dan kewenangan negara, sebab hanya terbatas pada bidang kerohanian dan kemanusiaan, sehingga hanya memiliki kekuatan moral saja, namun wibawa Paus sebagai pemimpin tertinggi Tahta Suci dan umat Katholik sedunia, sudah diakui secara luas di seluruh dunia. Oleh karena itu, banyak negara membuka hubungan diplomatik dengan Tahta Suci, dengan cara menempatkan kedutaan besarnya di Vatikan dan demikian juga sebaliknya Tahta Suci juga menempatkan kedutaan besarnya di berbagai negara. (Phartiana, 2003, 125) 1. Kaum Pemberontak / Beligerensi (belligerent) Kaum belligerensi pada awalnya muncul sebagai akibat dari masalah dalam negeri suatu negara berdaulat. Oleh karena itu, penyelesaian sepenuhnya merupakan urusan negara yang bersangkutan. Namun apabila pemberontakan tersebut bersenjata dan terus berkembang, seperti perang saudara dengan akibat-akibat di luar kemanusiaan, bahkan meluas ke negara-negara lain, maka salah satu sikap yang dapat diambil oleh adalah mengakui eksistensi atau menerima kaum pemberontak sebagai pribadi yang berdiri sendiri, walaupun sikap ini akan dipandang sebagai tindakan tidak bersahabat oleh pemerintah negara tempat pemberontakan terjadi. Dengan pengakuan tersebut, berarti bahwa dari sudut pandang negara yang mengakuinya, kaum pemberontak menempati status sebagai pribadi atau subyek hukum internasional 1. Individu Pertumbuhan dan perkembangan kaidah-kaidah hukum internasional yang memberikan hak dan membebani kewajiban serta tanggungjawab secara langsung kepada individu semakin bertambah pesat, terutama setelah Perang Dunia II. Lahirnya Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia (Universal Declaration of Human Rights) pada tanggal 10 Desember 1948 diikuti dengan lahirnya beberapa konvensi-konvensi hak asasi manusia di berbagai kawasan, dan hal ini semakin mengukuhkan eksistensi individu sebagai subyek hukum internasional yang mandiri. 7. Perusahaan Multinasional Perusahaan multinasional memang merupakan fenomena baru dalam hukum dan hubungan internasional. Eksistensinya dewasa ini, memang merupakan suatu fakta yang tidak bisa disangkal lagi. Di beberapa tempat, negara-negara dan organisasi internasional mengadakan hubungan dengan perusahaan-perusahaan multinasional yang kemudian melahirkan hak-hak dan kewajiban internasional, yang tentu saja berpengaruh terhadap eksistensi, struktur substansi dan ruang lingkup hukum internasional itu sendiri. 

E. Hubungan Hukum Internasional dengan Hukum Nasional 
Ada dua teori yang dapat menjelaskan bagaimana hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional, yaitu: teori Dualisme dan teori Monisme. Menurut teori Dualisme, hukum internasional dan hukum nasional, merupakan dua sistem hukum yang secara keseluruhan berbeda. Hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang terpisah, tidak saling mempunyai hubungan superioritas atau subordinasi. Berlakunya hukum internasional dalam lingkungan hukum nasional memerlukan ratifikasi menjadi hukum nasional. Kalau ada pertentangan antar keduanya, maka yang diutamakan adalah hukum nasional suatu negara. Sedangkan menurut teori Monisme, hukum internasional dan hukum nasional saling berkaitan satu sama lainnya. Menurut teori Monisme, hukum internasional itu adalah lanjutan dari hukum nasional, yaitu hukum nasional untuk urusan luar negeri. Menurut teori ini, hukum nasional kedudukannya lebih rendah dibanding dengan hukum internasional. Hukum nasional tunduk dan harus sesuai dengan hukum internasional. (Burhan Tsani, 1990; 26) 

F. Penyelesaian Sengketa Internasional Secara Damai 
Ketentuan hukum internasional telah melarang penggunaan kekerasan dalam hubungan antar negara. Keharusan ini seperti tercantum pada Pasal 1 Konvensi mengenai Penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907, yang kemudian dikukuhkan oleh pasal 2 ayat (3) Piagan Perserikatan bangsa-Bangsa dan selanjutnya oleh Deklarasi Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Bersahabat dan Kerjasama antar Negara. Deklarasi tersebut meminta agar “semua negara menyelesaikan sengketa mereka dengan cara damai sedemikian rupa agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu”. Penyelesaian sengketa secara damai dibedakan menjadi: penyelesaian melalui pengadilan dan di luar pengadilan. Yang akan dibahas pada kesemapatan kali ini hanyalah penyelesaian perkara melalui pengadilan. Penyelesaian melalui pengadilan dapat ditempuh melalui: 1. Arbitrase Internasional Penyelesaian sengketa internasional melalui arbitrase internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih secara bebas oleh para pihak, yang memberi keputusan dengan tidak harus terlalu terpaku pada pertimbangan-pertimbangan hukum. Arbitrase adalah merupakan suatu cara penerapan prinsip hukum terhadap suatu sengketa dalam batas-batas yang telah disetujui sebelumnya oleh para pihak yang bersengketa. Hal-hal yang penting dalam arbitrase adalah : (1). Perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase, dan (2). Sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. (Burhan Tsani, 1990; 211) Secara esensial, arbitrase merupakan prosedur konsensus, karenanya persetujuan para pihaklah yang mengatur pengadilan arbitrase. Arbitrase terdiri dari seorang arbitrator atau komisi bersama antar anggota-anggota yang ditunjuk oleh para pihak atau dan komisi campuran, yang terdiri dari orang-orang yang diajukan oleh para pihak dan anggota tambahan yang dipilih dengan cara lain. Pengadilan arbitrase dilaksanakan oleh suatu “panel hakim” atau arbitrator yang dibentuk atas dasar persetujuan khusus para pihak, atau dengan perjanjian arbitrase yang telah ada. Persetujuan arbitrase tersebut dikenal dengan compromis (kompromi) yang memuat: 1. persetujuan para pihak untuk terikat pada keputusan arbitrase; 2. metode pemilihan panel arbitrase; 3. waktu dan tempat hearing (dengar pendapat); 4. batas-batas fakta yang harus dipertimbangkan, dan; 5. prinsip-prinsip hukum atau keadilan yang harus diterapkan untuk mencapai suatu kesepakatan. (Burhan Tsani, 1990, 214) Masyarakat internasional sudah menyediakan beberapa institusi arbitrase internasional, antara lain: 1. Pengadilan Arbitrase Kamar Dagang Internasional (Court of Arbitration of the International Chamber of Commerce) yang didirikan di Paris, tahun 1919; 2. Pusat Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal Internasional (International Centre for Settlement of Investment Disputes) yang berkedudukan di Washington DC; 3. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Asia (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kuala Lumpur, Malaysia; 4. Pusat Arbitrase Dagang Regional untuk Afrika (Regional Centre for Commercial Arbitration), berkedudukan di Kairo, Mesir. (Burhan Tsani; 216) 1. Pengadilan Internasional Pada permulaan abad XX, Liga Bangsa-Bangsa mendorong masyarakat internasional untuk membentuk suatu badan peradilan yang bersifat permanent, yaitu mulai dari komposisi, organisasi, wewenang dan tata kerjanya sudah dibuat sebelumnya dan bebas dari kehendak negara-negara yang bersengketa. Pasal 14 Liga Bangsa-Bangsa menugaskan Dewan untuk menyiapkan sebuah institusi Mahkamah Permanen Internasional. Namun, walaupun didirikan oleh Liga Bangsa-Bangsa, Mahkamah Permanen Internasional, bukanlah organ dari Organisasi Internasional tersebut. Hingga pada tahun 1945, setelah berakhirnya Perang Dunia II, maka negara-negara di dunia mengadakan konferensi di San Fransisco untuk membentuk Mahkamah Internasional yang baru. Di San Fransisco inilah, kemudian dirumuskan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Statuta Mahkamah Internasional. Menurut Pasal 92 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa disebutkan bahwa Mahkamah Internasional merupakan organ hukum utama dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Namun sesungguhnya, pendirian Mahkamah Internasional yang baru ini, pada dasarnya hanyalah merupakan kelanjutan dari Mahkamah Internasional yang lama, karena banyak nomor-nomor dan pasal-pasal yang tidak mengalami perubahan secara signifikan Secara umum, Mahkamah Internasional mempunyai kewenangan untuk: 1. melaksanakan “Contentious Jurisdiction”, yaitu yurisdiksi atas perkara biasa, yang didasarkan pada persetujuan para pihak yang bersengketa; 2. memberikan “Advisory Opinion”, yaitu pendapat mahkamah yang bersifat nasehat. Advisory Opinion tidaklah memiliki sifat mengikat bagi yang meminta, namun biasanya diberlakukan sebagai “Compulsory Ruling”, yaitu keputusan wajib yang mempunyai kuasa persuasive kuat (Burhan Tsani, 1990; 217) Sedangkan, menurut Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, sumber-sumber hukum internasional yang dipakai oleh Mahkamah dalam mengadili perkara, adalah: 1. Perjanjian internasional (international conventions), baik yang bersifat umum, maupun khusus; 2. Kebiasaan internasional (international custom); 3. Prinsip-prinsip hukum umum (general principles of law) yang diakui oleh negara-negara beradab; 4. Keputusan pengadilan (judicial decision) dan pendapat para ahli yang telah diakui kepakarannya, yang merupakan sumber hukum internasional tambahan. Mahkamah Internasional juga sebenarnya bisa mengajukan keputusan ex aequo et bono, yaitu didasarkan pada keadilan dan kebaikan, dan bukan berdasarkan hukum, namun hal ini bisa dilakukan jika ada kesepakatan antar negara-negara yang bersengketa. Keputusan Mahkamah Internasional sifatnya final, tidak dapat banding dan hanya mengikat para pihak. Keputusan juga diambil atas dasar suara mayoritas. Yang dapat menjadi pihak hanyalah negara, namun semua jenis sengketa dapat diajukan ke Mahkamah Internasional. Masalah pengajuan sengketa bisa dilakukan oleh salah satu pihak secara unilateral, namun kemudian harus ada persetujuan dari pihak yang lain. Jika tidak ada persetujuan, maka perkara akan di hapus dari daftar Mahkamah Internasional, karena Mahkamah Internasional tidak akan memutus perkara secara in-absensia (tidak hadirnya para pihak). 

G. Peradilan-Peradilan Lainnya di Bawah Kerangka Perserikatan Bangsa-bangsa 
1. Mahkamah Pidana Internasional (International Court of Justice/ICJ) 
Perserikatan Bangsa-Bangsa sejak pembentukannya telah memainkan peranan penting dalam bidang hukum inetrnasional sebagai upaya untuk menciptakan perdamaian dunia. Selain Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) yang berkedudukan di Den Haag, Belanda, saat ini Perserikatan Bangsa-bangsa juga sedang berupaya untuk menyelesaikan “hukum acara” bagi berfungsinya Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court/ICC), yang statuta pembentukannya telah disahkan melalui Konferensi Internasional di Roma, Italia, pada bulan Juni 1998. Statuta tersebut akan berlaku, jika telah disahkan oleh 60 negara. Berbeda dengan Mahkamah Internasional, yurisdiksi (kewenangan hukum) Mahkamah Pidana Internasional ini, adalah di bidang hukum pidana internasional yang akan mengadili individu yang melanggar Hak Asasi Manusia dan kejahatan perang, genosida (pemusnahan ras), kejahatan humaniter (kemanusiaan) serta agresi. Negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa tidak secara otomatis terikat dengan yurisdiksi Mahkamah ini, tetapi harus melalui pernyataan mengikatkan diri dan menjadi pihak pada Statuta Mahkamah Pidana Internasional. (Mauna, 2003; 263) 
2. Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia (The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia/ICTY) 
Melalui Resolusi Dewan Keamanan Nomor 827, tanggal 25 Mei 1993, Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk The International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia, yang bertempat di Den Haag, Belanda. Tugas Mahkamah ini adalah untuk mengadili orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran-pelanggaran berat terhadap hukum humaniter internasional yang terjadi di negara bekas Yugoslavia. Semenjak Mahkamah ini dibentuk, sudah 84 orang yang dituduh melakukan pelanggaran berat dan 20 diantaranya telah ditahan. Pada tanggal 27 Mei 1999, tuduhan juga dikeluarkan terhadap pemimpin-pemimpin terkenal, seperti Slobodan Milosevic (Presiden Republik Federal Yugoslavia), Milan Milutinovic (Presiden Serbia), yang dituduh telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan dan melanggar hukum perang. (Mauna, 2003; 264) 
3. Mahkamah Kriminal untuk Rwanda (International Criminal Tribunal for Rwanda) 
Mahkamah ini bertempat di Arusha, Tanzania dan didirikan berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 955, tanggal 8 November 1994. tugas Mahkamah ini adalah untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku kejahatan pembunuhan missal sekitar 800.000 orang Rwanda, terutama dari suku Tutsi. Mahkamah mulai menjatuhkan hukuman pada tahun 1998 terhadap Jean-Paul Akayesu, mantan Walikota Taba, dan juga Clement Kayishema dan Obed Ruzindana yang telah dituduh melakukan pemusnahan ras (genosida) . Mahkamah mengungkap bahwa bahwa pembunuhan massal tersebut mempunyai tujuan khusus, yaitu pemusnahan orang-orang Tutsi, sebagai sebuah kelompok suku, pada tahun 1994. Walaupun tugas dari Mahkamah Kriminal Internasional untuk Bekas Yugoslavia dan Mahkamah Kriminal untuk Rwanda belum selesai, namun Perserikatan Bangsa-Bangsa juga telah menyiapkan pembentukan mahkamah- untuk Kamboja untuk mengadili para penjahat perang di zaman pemerintahan Pol Pot dan Khmer Merah, antara tahun 1975 sampai dengan 1979 yang telah membunuh sekitar 1.700.000 orang. Jika diperkirakan bahwa tugas Mahkamah Peradilan Yugoslavia dan Rwanda telah menyelesaikan tugas mereka, maka Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mengeluarkan resolusi untuk membubarkan kedua Mahkamah tersebut, yang sebagaimana diketahui memiliki sifat ad hoc (sementara). (Mauna, 2003; 265) 

REFERENSI 
Ardiwisastra Yudha Bhakti, 2003, Hukum Internasional, Bunga Rampai, Alumni, Bandung 
Brownlie Ian, 1999, Principles of Public International Law, Fourth Edition, Clarendon Press, Oxford Burhantsani, Muhammad, 1990; Hukum dan Hubungan Internasional, Yogyakarta : Penerbit Liberty. Kusamaatmadja Mochtar, 1999, Pengantar Hukum Internasional, Cetakan ke-9
Putra Abardin Mauna Boer, 2003, Hukum Internasional; Pengertian, Peran dan Fungsi dalam Era Dinamika Global, Cetakan ke-4, PT. Alumni, Bandung 
Phartiana I Wayan, 2003, Pengantar Hukum Internasional, Penerbit Mandar maju, Bandung 
Situni F. A. Whisnu, 1989, Identifikasi dan Reformulasi Sumber-Sumber Hukum Internasional, Penerbit Mandar Maju, Bandung

Untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download disini
Read More..
Minggu, 23 September 2012
A. PENDAHULUAN 
Perkembangan daerah saat ini sangat pesat, apalagi dengan bergulirnya otonomi daerah yang dihembuskan pemerintah pusat. Dengan adanya UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang otonomi daerah dan juga UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang pembentukan Propinsi Kepulauan Riau yang disahkan oleh DPR RI pada tanggal 24 September 2002 dan ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarno Putri pada tanggal 18 November 2002. Kepulauan Riau ini meliputi Kabupaten Kepulauan Riau, Natuna, Karimun, Kota Batam, Kota Tanjungpinang dan yang terakhir ini telah terbentuknya pemekaran wilayah baru dari Kabupaten Kepulauan Riau yaitu Kabupaten Lingga pada tahun 2004. Organisasi kedaerahan adalah termasuk organisasi yang termasuk organisasi non profit dimana dibutuhkan komitmen organisasi dikuatkan sebagai bentuk sikap profesionalitas keanggotaan. Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta adalah salah satu organisasi kedaerahan yang diteliti untuk mengetahui komitmen kerja para anggota di dalam organisasi ini. 

B. DASAR TEORI 
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Komitmen organisasi yang dikemukakan oleh Allen dan Meyer (1990) memiliki tiga komponen organisasi yaitu: komitmen afektif (affective commitment), komitmen kontinuans (continuance commitment), dan komitmen normative (normative commitment). Hal yang umum dari ketiga komponen komitmen ini adalah dilihatnya komitmen sebagai kondisi psikologis yang: 1) menggambarkan hubungan individu dengan organisasi, dan 2) mempunyai implikasi dalam keputusan untuk meneruskan atau tidak keanggotaannya dalam organisasi. Adapun definisi dan penjelasan dari setiap komponen komitmen organisasi adalah sebagai berikut. 1) Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Dengan demikian, karyawan yang memiliki komitmen afektif yang kuat akan terus bekerja dalam organisasi karena mereka memang ingin (want to) melakukan hal tersebut. 2) Komitmen kontinuans berkaitan dengan an awareness of the costs associated with leaving the organization. Hal ini menunjukkan adanya pertimbangan untung rugi dalam diri karyawan berkaitan dengan keinginan untuk tetap bekerja atau justru meninggalkan organisasi. Komitmen kontinuans adalah kesadaran akan ketidakmungkinan memilih identitas sosial lain ataupun alternatif tingkah laku lain karena adanya ancaman akan kerugian besar. Karyawan yang terutama bekerja berdasarkan komitmen kontinuans ini bertahan dalam organisasi karena mereka butuh (need to) melakukan hal tersebut karena tidak adanya pilihan lain. 3) Komitmen normatif merefleksikan a feeling of obligation to continue employment. Dengan kata lain, komitmen normatif berkaitan dengan perasaan wajib untuk tetap bekerja dalam organisasi. Ini berarti, karyawan yang memiliki komitmen normative yang tinggi merasa bahwa mereka wajib (ought to) bertahan dalam organisasi. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi. Oleh karena itu, tingkah laku karyawan didasari pada adanya keyakinan tentang “apa yang benar” serta berkaitan dengan masalah moral. Allen dan Meyer (1990) serta Meyer dan Allen (1997) lebih memilih untuk menggunakan istilah komponen komitmen organisasi daripada tipe komitmen organisasi karena hubungan karyawan dengan organisasinya dapat bervariasi dalam ketiga komponen tersebut. Selain itu, setiap komponen komitmen berkembang sebagai hasil dari pengalaman yang berbeda serta memiliki implikasi yang berbeda pula. Misalnya, seorang karyawan secara bersamaan dapat merasa terikat dengan organisasi dan juga merasa wajib untuk bertahan dalam organisasi. Sementara itu, karyawan lain dapat menikmati bekerja dalam organisasi sekaligus menyadari bahwa ia lebih baik bertahan dalam organisasi karena situasi ekonomi yang tidak menentu. Namun, 3 karyawan lain merasa ingin, butuh, dan juga wajib untuk terus bekerja dalam organisasi. Dengan demikian, pengukuran komitmen organisasi juga seharusnya merefleksikan ketiga komponen komitmen tersebut, yaitu komitmen afektif, komitmen kontinuans, dan komitmen normatif. Perkembangan organisasi daerah saat ini semakin menunjukkan eksistensinya. Hal ini ditunjukkan dengan keikutsertaan organisasi daerah pada kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh pemerintah pusat. Selain itu, sistem kerja organisasi daerah juga sudah semakin terstruktur. Seperti sistem yang dijalankan pada organisasi daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta, organisasi ini sudah memiliki susunan kepengurusan yang tersistematika dengan baik. Misalnya, dengan adanya ketua dan koordinator masing-masing bagian yang diperlukan dalam suatu organisasi. Berdasarkan dari teori yang dikemukakan oleh Meyer, dapat terlihat bahwa komitmen yang terjadi dalam organisasi daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta didasari oleh adanya persamaan latar belakang budaya serta hubungan emosional antar anggota tersebut. 

C. RUMUSAN MASALAH 
Adapun kuliah lapangan ini diadakan, adalah untuk mengetahui bagaimana komitmen berorganisasi dari organisasi kedaerahan yang bersifat non-provit. 

D. TUJUAN PENELITIAN 
Kuliah lapangan ini bertujuan untuk mengetahui: 1. Struktur organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta 2. Proses seleksi dan rekruitmen anggota serta pengurus organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta 3. Komitmen dalam anggota organisasi Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta 

E. HASIL WAWANCARA 
Berdasarkan wawancara yang dilakukan, organisasi kedaerahan adalah termasuk organisasi yang termasuk organisasi non profit dimana dibutuhkan komitmen organisasi dikuatkan sebagai bentuk sikap profesionalitas keanggotaan. Pada kepengurusan periode 2010-2011 program kerja IPMKR-Y 100% terlaksana. Berganti kepengurusan peride 2011-2012 masih dengan ketua yang sama yaitu sdr.Purnama Eko Retahaditi namun kepengurusan periode ini tidak lebih baik dari kepengerusan sebelumnya, meskipun cara perekrutan anggota kepengurusan perode 2011-2012 lebih terkoordinir dan lebih sistematis. Ditambah lagi pada kepengerusan tahun ini departemen IPMKR-Y bertambah menjadi enam, yaitu advokasi, dimana departemen ini mengurus masalah hukum yang terjadi di IPMKR-Y. Jika dilihat dari sistematika kepengurusan, periode 2011-2012 lebih terkoordinir, hal ini dapat dilihat dari proses seleksi anggotanya yang melewati proses interview dan seleksi yang lebih ketat. Sehingga dari interview tersebut kita dapat mengetahui bagaimana komitmen, loyalitas, totalitas serta keprofesionalitasan anggota dalam organisasi. Interview dilakukan 4 orang, yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara ke setiap asrama. Komitmen yang dituju di dalam organisasi kedaerahan ini adalah komitmen yang membuat organisasi yg sehat, dan kita sebagai pengurusnya cinta terhadap organisasi tersebut,dan mengerti apa misi visi organisasi ini. Dengan kecintaan terhadap organisasi, maka anggota mempunyai totalitas, loyalitas, profesionalitas, pengorbanan, serta mendahulukan kepentingan organisasi dibandingkan pribadi. Organisasi kedaerahan termasuk organisasi non-profit yang tidak menghsilkan laba berupa uang, terlintas pertanyaan bagaimana cara menjaga komitmen organisasi yang mereka jalani. Beberapa sumber berbicara dikarenakan merasa nyaman dengan lingkungan organisasi, maka komitmen itu tetap berjalan hingga kini. Karena mereka mempunyai tujuan satu, membawa nama Kepulauan Riau dan tujuan itu terikat secara emosional. Komitmen anggota bisa dilihat rapat anggota, apakah malas-malasan, atau tidak adanya totalitas ketika organisasi mengadakan event-event nasional. Disana bisa dilihat letak profesionalitasan anggota organisasi. Komitmen organisai terikat bukan karena adanya profesionalitas tetapi adanya hubungan emosional yang sudah terjalin sejak dulu dan mengikat satu sama lain. 

F. ANALISA 
Meyer dan Allen (1991) merumuskan suatu definisi mengenai komitmen dalam berorganisasi sebagai suatu konstruk psikologis yang merupakan karakteristik hubungan anggota organisasi dengan organisasinya dan memiliki implikasi terhadap keputusan individu untuk melanjutkan keanggotaannya dalam berorganisasi. Berdasarkan definisi tersebut anggota yang memiliki komitmen terhadap organisasinya akan lebih dapat bertahan sebagai bagian dari organisasi dibandingkan anggota yang tidak memiliki komitmen terhadap organisasi. Dalam organisasi IPMKR-Y, wawancara dan proses seleksi anggotanya yang melewati proses interview dan seleksi yang lebih ketat. Sehingga dari interview tersebut kita dapat mengetahui bagaimana komitmen, loyalitas, totalitas serta keprofesionalitasan anggota dalam organisasi. Karena wawancara dilakukan Interview 4 pengurus inti, yaitu ketua, wakil ketua, sekretaris dan bendahara ke setiap asrama, sehingga mereka akan mengerti orang-orang berkompeten yang memenuhi syarat-syarat di dalam organisasi. Komitmen afektif mengarah pada the employee's emotional attachment to, identification with, and involvement in the organization. Ini berarti, komitmen afektif berkaitan dengan keterikatan emosional karyawan, identifikasi karyawan pada, dan keterlibatan karyawan pada organisasi. Organisasi ini memiliki rasa kekelurgaan yang sangat kuat. Komitmen organisasi terikat bukan karena adanya profesionalitas tetapi adanya hubungan emosional yang sudah terjalin sejak dulu dan mengikat satu sama lain. Para anggotanya memiliki tujuan membawa Kepulauan Riau ke kancah nasional,sehingga dilihat dari teori Meyer dan Allen (1991), komitmen yang dimiliki anggota adalah komitmen afektif. Wiener (dalam Allen & Meyer, 1990) mendefinisikan komponen komitmen ini sebagai tekanan normatif yang terinternalisasi secara keseluruhan untuk bertingkah laku tertentu sehingga memenuhi tujuan dan minat organisasi. Sehingga, komitmen yang dituju di dalam organisasi kedaerahan ini adalah komitmen yang membuat organisasi yg sehat, dan kita sebagai pengurusnya cinta terhadap organisasi tersebut,dan mengerti apa misi visi organisasi ini. Dengan kecintaan terhadap organisasi, maka anggota mempunyai totalitas, loyalitas, profesionalitas, pengorbanan, serta mendahulukan kepentingan organisasi dibandingkan pribadi. Berdasarkan dari teori yang dikemukakan oleh Meyer, dapat terlihat bahwa komitmen yang terjadi dalam organisasi daerah Ikatan Pelajar Mahasiswa Kepulauan Riau-Yogyakarta didasari oleh adanya persamaan latar belakang budaya serta hubungan emosional antar anggota tersebut 

G. KESIMPULAN 
Perubahan kepengurusan 2010-2011 adanya perekrutan anggota melalui proses interview Sehingga dari interview tersebut kita dapat mengetahui bagaimana komitmen, loyalitas, totalitas serta keprofesionalitasan anggota dalam organisasi Komitmen yang dituju di dalam organisasi kedaerahan ini adalah komitmen yang membuat organisasi yg sehat, dan kita sebagai pengurusnya cinta terhadap organisasi tersebut,dan mengerti apa visi misi organisasi ini. Dengan kecintaan terhadap organisasi, maka anggota mempunyai totalitas, loyalitas, profesionalitas, pengorbanan, serta mendahulukan kepentingan organisasi dibandingkan pribadi. 

DAFTAR PUSTAKA 
Diunduh dari: http://staff.ui.ac.id/internal/131998622/material/Arisan86-KomitmenOrganisasi-Liche.pdf; 24 Desember 2011, 19.43 
Diunduh dari http://rumahbelajarpsikologi.com/index.php/area-terapan-mainmenu-30/organisasi-mainmenu-66/komitmen-organisasi-mainmenu-70; 24 Desember 2011; 20.26 

Untuk hasil yang lebih lengkap dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download disini
Read More..
PEMAAFAN
pemaafan merupakan perubahan serangkaian perilaku dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau menghindar dari perilaku kekerasan dan meningkatkan motivasi ataupun keinginan untuk berdamai dengan pelaku Gustafson (1999), mendefenisikan pemaafan kedalam lima point yaitu adanya; deciding, punishing, perceiving an injustice, taking action, experiecing emotional relief. Worthington & Wade (1999), mendefinisikan pemaafan sebagai suatu pilihan internal korban (baik sengaja maupun tidak) untuk melepaskan rasa tidak memaafakan dan untuk mencari perdamaian/rekonsialisasi dengan pelaku jika aman, bijaksana, dan mungkin untuk dilakukan. pemaafan adalah perubahan serangkaian perilaku dengan jalan menurunkan motivasi untuk membalas dendam, menjauhkan diri atau menghindar dari pelaku kekerasan dan meningkatkan motivasi atau keinginan untuk berdamai dengan pelaku.

SENYUM 
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), didefinisikan sebagai gerak tawa ekspresif yang tidak bersuara untuk menunjukkan rasa senang, gembira, suka, dan sebagainya dengan mengembangkan bibir sedikit. Dalam teks agama, senyum bernilai ibadah karena dianggap memiliki kesamaan dengan sedekah. Orang telah dianggap bersedekah hanya dengan tersenyum kepada orang lain. Dalam fisiologi, senyum adalah ekspresi wajah yang terjadi akibat bergeraknya atau timbulnya suatu gerakan di bibir atau kedua ujungnya, atau pula di sekitar mata. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah engkau sekali-kali meremehkan suatu kebaikan, walaupun itu hanya sekadar untuk menemui saudaramu dengan wajah ceria”(HR. Muslim). Hadits ini menyiratkan bahwa wajah ceria adalah wajah yang selalu tersenyum. Dengan tersenyum, wajah nampak ceria tanda kebesaran jiwa dan kelapangan hati. Keceriaan wajah mengesankan ekspresi simpatik dan menyenangkan kepada siapa saja. Suasana hangat, akrab dan penuh keharmonisan akan terbangun dengan wajah ceria sambil tersenyum. Menurut David Song, MD, FACS., ahli bedah plastik Universitas Chicago Hospital, saat tersenyum, otot mata mengerut, dua otot sudut bibir tertarik, otot di sekitar hidung juga, dua otot disudut mulut bergerak naik, dan dua otot lagi membuat bibir melebar. Kalau dihitung, ada 12 otot wajah yang bergerak saat seseorang tersenyum. Saat merengut, otot yang bergerak hanya sebelas. Sementara senyuman palsu hanya menggerakan dua otot yaitu di sudut bibir. Psikolog Tika Bisono mengemukakan bahwa senyum termasuk proses penting bagaimana seseorang itu mampu menerima kehidupannya. Berawal dari senyum semua hal akan terasa lebih ringan, sebab senyum dapat menstimuli seseorang berpikiran positif dan menghadirkan sikap yang lebih tulus dalam mengerjakan sesuatu. Kemampuan tersenyum itu juga terkait dengan kadar kematangan seseorang dalam menyikapi problema kehidupan. Ketidakmampuan seseorang menerima keadaan dan selalu berpikir negatif merupakan faktor penyebab susah tersenyum. Seorang psikolog di Universitas Michigan bernama Prof. James V. McConnell mengatakan bahwa, “Orang yang tersenyum cenderung mampu mengatasi, mengajar, dan menjual dengan lebih efektif, serta mampu membesarkan anak-anak yang lebih bahagia. Ada jauh lebih banyak informasi tentang senyuman daripada sebuah kerut di kening. Karena senyum itulah yang mendorong semangat, alat pengajar yang jauh lebih efektif daripada hukuman.”

Manfaat senyum secara psikologi 
1. dapat mengurangi tingkat stres
2. meningkatkan kekebalan secara psikologis
3. memicu perasaan optimis
4. dapat meningkatkan hubungan baik dengan orang lain.

Manfaat senyum untuk penyembuhan 
1. Menghilangkan Stress
2. Menurunkan Tekanan Darah
3. Membuat Awet Muda
4. Meningkatkan Imunitas
5. Melepas Endorphin, Pemati Rasa Alamiah dan Serotonin
6. Membuat Positive Thinking
Dale Carnegie dalam bukunya yang terkenal, “Bagaimana Anda Mendapatkan Teman dan Mempengaruhi Manusia” menuliskan: “Ingatlah, bahwa senyum tidak membutuhkan biaya sedikitpun, bahkan membawa dampak yang luar biasa. Tidak akan menjadi miskin orang yang memberinya, justru akan menambah kaya bagi orang yang mendapatkannya. Senyum juga tidak memerlukan waktu yang bertele-tele, namun membekas kekal dalam ingatan sampai akhir hayat. Tidak ada seorang fakir yang tidak memilikinya, dan tidak ada seorang kaya pun yang tidak membutuhkannya.”

Skenario Pelaksanaan Terapi Senyum
Tujuan :
 Jumlah peserta : 50
Peserta Waktu : 90 Menit
Alat dan Bahan : -
Tempat : Indoor
Sesi Mekanisme instruksi/ Langkah-langkah Tujuan Material Penyaji Ket Sesi I Pembukaan 1. Buka sesi dengan salam hormat, perkenalkan jati diri dan aktifitas sehari-hari anda. Bersikaplah simpatik, harmonis dan familiar. Ciptakan kesan serius tapi santai dan profesional, serta ciptakan suasana penuh keakraban dan persahabatan 2. Fasilitator atau pemandu menyampaikan fokus utama, tujuan terapi dan Mekanisme-Instruktif/ Langkah-langkah terapi. Sampaikan secara singkat, jelas, padat dan mudah difahami seluruh peserta. Mengenalkan kepada para peserta tentang materi yang akan diberikan dalam pelatihan Fasilitator Sesi II Energizer Energizer 1. Peserta membentuk lingkaran, dan peserta diminta untuk menyebutkan nama panggilan masing-masing. kemudian fasilitator memberikan instruksi berupa: “Sebut nama peserta disamping kiri anda saat saya menunjuk peserta dengan kata ZAP. Sebut nama peserta di samping kanan anda apabila saya menunjuk peserta dengan kata ZIP.” 2. 3. Instruksikan kepada peserta untuk konsentrasi mengikuti energizer. Lakukan berulang- ulang sampai peserta mencapai titik konsentrasi dan tidak ada kesalahan. Kalau ada peserta yang tidak bisa menyebutkan nama, maka dia harus memperkenalkan dirinya secara singkat dan meminta maaf kepada teman yang dia lupa namanya. Melatih dan mengembalikan konsentasi agar peserta siap mengikuti terapi Flip Chart, Spidol Fasilitator Sesi III Pemaafan Fasilitator menyampaikan beberapa instruksi: 1. Prolog tentang pentingnya memaafkan. 2. Fasilitator meminta para peserta untuk mengisi tabel yang terdiri dari tiga kolom. Kolom pertama diisi dengan waktu, kolom kedua diisi dengan peristiwa dan kolom terakhir diisi dengan orang lain atau diri sendiri. Pada tabel itu peserta diminta untuk menuliskan peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi pada saat anak-anak dan remaja yang membuat peserta merasa sakit hati, benci, dendam dan sebagainya. Setelah itu dituliskan pula siapa saja yang terlibat dalam peristiwa itu, apakah diri sendiri atau orang lain. 3. Pada saat peserta sedang menuliskan pada tabel, fasilitator mulai memutar lagu instrumen untuk membangkitkan emosi para peserta. 4. Fasilitator meminta para peserta untuk memejamkan mata agar bisa mendalami emosi yang sedang mereka rasakan 5. Kemudian fasilitator memberikan intervensi kognitif berupa sugesti-sugesti agar para peserta bisa mengingat hal-hal yang belum bisa dimaafkan oleh peserta. 6. Relaksasi 7. Peserta diminta untuk membuka mata Membuat peserta mengingat kembali tentang hal yang belum bisa mereka maafkan. Kertas, instrument, speaker Sesi IV Senyum 1. Setelah peserta membuka mata, fasilatator memberikan instruksi: “salah satu bentuk wujud memaafkan adalah mampu untuk memberikan senyuman” 2. Bentuk senyuman menggunakan rumus 2-2-8, yaitu menarik ujung bibir ke sisi kanan 2 cm, sisi kiri 2cm, kemudian menahan selama 8 detik. 3. Peserta diminta untuk saling menyalami antar peserta yang lain dengan tetap memberikan senyum 2-2-8 4. Peserta yang jalan berkata “maafkan saya, yaa”. Peserta yang disalami / diam berkata, “iya, saya maafkan”. Sesi V Evaluasi dan Penutup 1. Fasilitator memberikan evaluasi atas sesi yang telah berlangsung 2.  

DAFTAR PUSTAKA 

http://bioenergicenter.com/artikel/terapi-senyum-ibadah-yang-menyehatkan http://beritaunik75.blogspot.com/2011/07/senyum-terapi.html
http://www.terapitertawa.com/?manfaat-senyum-bagi-kesehatan-jiwa-raga,75 http://ceptiikegitu.student.umm.ac.id/download-as-pdf/umm_blog_article_28.pdf

Untuk hasil yang lebih lengkap dan mudah dibaca dalam bentun microsoft word, silahkan download disini.

Read More..
A. PENDAHULUAN 
Thailand merupakan sebuah negara dengan mayoritas penduduk beragama Buddha Theravada. Penduduk yang memeluk agama tersebut mencapai 90% dari keseluruhan jumlah penduduk di Thailand. Selebihnya, sekitar 6% penduduk Thailand beragama muslim dan sisanya beragama yang lain. Thailand termasuk negara yang menghargai keragaman agama yang terdapat dalam negara tersebut. Buktinya, di negara ini cukup banyak ditemukan masjid-masjid, dan berbagai ceramah keagamaan bebas untuk dilakukan. Muslim menjadi agama minoritas di negara tersebut. Dengan demikian, sorak kehidupan warga muslim di negara tersebut pun menjadi berbeda. Di negara tersebut, bertebaran banyak sekali tempat-tempat pemujaan yang menjadi mayoritas kepercayaan di negara tersebut. Hal ini jelas sangat bertentangan dengan keyakinan agama Islam, yang sangat menentang kepercayaan terhadap benda-benda maupun pemujaan-pemujaan suatu benda. Budaya Thailand memang sangat berbeda dengan budaya Indonesia. Dari segi agamanya saja, Thailand lebih banyak memiliki warga negara dengan agama Buddha. Masyarakat Thailand juga masih kental dengan kepercayaannya kepada leluhur. Sehingga, diberbagai penjuru negara, dapat dengan mudah dijumpai patung-patung persembahan. Di sana, dapat dengan mudah kita jumpai, setiap pagi sebelum beraktivitas yang lain, masyarakat Thailand menyempatkan diri untuk memberikan persembahan berupa bunga-bungaan ke patung-patung yang berada di lingkungan mereka. Bahkan, tidak jarang dapat dengan mudah kita temui, untaian kalung bunga melati di setiap sudut kota, di depan rumah, bahkan di dalam kendaraan. Karena pengaruh budaya Buddhism yang cukup kental, di mana juga Islam merupakan agama minoritas dalam negara tersebut, hal ini kemudian memunculkan keinginan orang-orang minoritas untuk melanjutkan studi di suatu negara yang menjunjung nilai keislaman. Tidak bisa dipungkiri juga, arah pemikiran seseorang untuk mengambil suatu keputusan, bisa dilator belakangi oleh kebudayaan dari tempat tinggal seseorang. Thailand, dengan tingkat kepercayaan leluhur yang sangat tinggi, hal ini kemudian membuat masyarakat Thailand sangat menghormati sistem keturunan yang berada dalam keluarganya. Salah satu permasalahan dalam penetian ini adalah pengambilan keputusan seorang mahasiswi Thailand yang beragama muslim untuk melanjutkan studi nya di Indonesia. Pendidikan merupakan komponen dasar yang kuat untuk memperbaiki sistem sumber daya manusia. Dan, tidak dipungkiri, Indonesia, khususnya di ASEAN sendiri, merupakan salah satu negara tujuan untuk menuntut ilmu. Walaupun begitu, menurut Global Competitiveness Index (2007-2008 dan 2008-2009), Thailand masih mempunyai peringkat pendidikan yang jauh lebih baik dari Indonesia, di mana Thailand menempati peringkat ke 28 dan Indonesia sendiri berada di peringkat 54. Hal inilah yang kemudian menggelitik untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswi Thailand yang mengambil keputusan untuk melanjutkan studinya di Indonesia. 

B. PEMBAHASAN 
Subjek dalam penelitian ini adalah seorang perempuan beragama Islam dan merupakan seorang yang asli keturunan dari Thailand. Subjek berumur 22 tahun dan meneruskan jenjang pendidikan di UIN Sunan Kalijaga fakultas dakwah. Subjek merupakan anak ke enam dari delapan bersaudara. Menurut penuturannya, keluarga subjek berdarah Islam asli. Kedua orangtuanya juga beragama Islam. Sedari kecil, subjek sudah dibesarkan dalam lingkungan Islami. Mulai dari sekolah dasar sampai sekolah menengah atas, subjek disekolahkan dalam sekolah yang bebasis pada keilmuan Islam. Pada dasarnya, tidak ada masalah bagi subjek untuk meneruskan jenjang pendidikannya kemana saja. Akan tetapi, dikarenakan seluruh kakak-kakak dari subjek juga memutuskan untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri, maka, mau tak mau subjek juga meneruskan kebiasaan dalam keluarganya ini. Tradisi ini secara tidak langsung didasari oleh kebudayaan Thailand sendiri yang sangat menghormati leluhur. Hal ini juga yang secara tersirat dikatakan subjek yang mengatakan bahwa berkuliah di luar negeri merupakan tradisi dalam keluarganya. Sehingga, subjek sendiri tidak bisa menolak tradisi dalam keluarganya tersebut. Terlebih lagi, perbedaan budaya antara agama yang dianut subjek dengan agama mayoritas di negara tersebut, sehingga mau tidak mau subjek mencari tambahan pengetahuan mengenai agamanya dengan bersekolah di luar negeri (baca: Indonesia) yang memiliki latar belakang budaya Islam yang cukup tinggi. Penelitian ini mencoba manghubungkan apa yang terjadi dalam kebudayaan terhadap kognisi seseorang. Kognisi adalah satu konsep umum yang mencakup semua bentuk pengenalan. Termasuk di dalamnya ialah mengamati, melihat, memperhatikan, memberikan, menyangka, membayangkan, berpikir, mempertimbangkan, menduga dan menilai. Secara tradisional kognisi ini dipertentangkan dengan konasi atau kemauan dan dengan afeksi atau perasaan (Chaplin, 2008). Sedangkan menurut Festinger dalam buku Teori-Teori Psikologi Sosial menyatakan bahwa kognisis merupakan elemen-elemen kognitif, yaitu hal-hal yang diketahui oleh seseorang tentang dirinya sendiri, tentang tingkah lakunya dan tentang keadaan di sekitarnya. Salah satu hal yang termasuk dalam aspek kognitif adalah pengambilan keputusan (decision making). Pengambilan keputusan merupakan suatu cara bagi seseorang untuk menentukan apa yang akan dipilihnya. Manusia membuat banyak keputusan berdasarkan bias-bias dan heuristic di dalam pemikiran mereka. Heuristika adalah strategi-strategi informal yang, intuitif dan spekulatif yang terkadang mengarah kepada solusi yang efektif namun terkadang tidak (Stenberg, 2008). Pertimbangan lain di dalam teori keputusan adalah pengaruh dari efek-efek penyusunan (framing effects), yaitu cara opsi-opsi yang dipresentasikan kemudian mempengaruhi cara kita untuk menyeleksi sebuah opsi (Stneberg 2008). Hal ini sesuai dengan apa yang terjadi dengan subjek. Subjek dibesarkan dalam tradisi Thailand yang cukup kental, di mana sudah sejak kecil subjek lahir dan besar di sana. Tradisi Thailand yang sangat menghormati dan menjunjung tinggi nilai kebudayaan, sangat menghormati tradisi yang sudah dianut dalam suatu keluarga. Sehingga tidak mudah bagi subjek untuk menentang tradisi dalam keluarganya yang sudah sejak dulu mengharuskan anak-anak mereka untuk melanjutkan pendidikan di luar negeri. Tradisi tersebut lah yang kemudian juga mempengaruhi jalan pengambilan keputusan subjek. Subjek mengambil negara Indonesia sebagai negara tujuannya dalam meneruskan pendidikan, dilatar belakangi kehidupan keislaman subjek yang sudah ditanamkan sejak kecil. Budaya dan tradisi-tradisi subjek inilah yang kemudian menjadi bagian dari framing effects yang mempengaruhi subjek dalam mengambil keputusan untuk berkuliah di Indonesia. Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak terucapkan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, budaya dalam keluarga subjek mempunyai keluarga besar, yaitu delapan bersaudara. Keluarganya mempunyai tradisi untuk melanjutkan studi perguruan tinggi ke luar negeri. Hal inilah yang melatar belakangi subjek untuk mengambil keputusan untuk berkuliah di Indonesia. Tradisi ini dikuatkan dengan budaya Thailand sendiri yang sangat menghargai segala budaya dan tradisi yang berjalan dalam masyarakat, yaitu sangat menghormati para leluhur. 

C. KESIMPULAN 
Dari hasil wawancara yang sudah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa kebudayaan dan tradisi Thailand yang sangat menjunjung tradisi leluhur, sedikit banyak mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan oleh masyarakatnya. Sehingga, sebisa mungkin masyarakat Thailand selalu berada dalam tradisi yang sudah diturunkan dalam sebuah keluarga. 

D. SARAN 
Dari penelitian yang sudah dilakukan, maka peneliti memberikan saran, bahwa dalam penelitian ini, sangat kurang referensi mengenai kebudayaan Thailand itu sendiri. Diharapkan, untuk penelitian selanjutnya, referensi semakin diperbanyak. 

DAFTAR PUSTAKA 
Stenberg, Robert, J. 2008. Psikologi Kognitif Edisi Keempat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 
Alwisol. 2009. Psikologi Kepribadian. Malang: UMM Press 
Baron, Robert, A., Byrne, Donn. 2005. Psikologi Sosial Jilid 2. Jakarta: Erlangga 
Sarwono, Sarlito Wirawan. 2010. Teori-Teori Psikologi Sosial. Jakarta: Rajawali Pers 
Sawaji, Jamaludin. Pengambilan Keputusan Mahasiswa dalam Memilih Perguruan Tinggi Swasta di Sulawesi Selatan. (Jurnal)

Read More..

Popular Posts

Berita Hari Ini