Translate

Cara Melanjutkan Baca

cara downlaod File :

1. klik file yang akan di download
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
3. klik unduh
4. lalu tunggu 20 detik mengunduh file tersebut

atau cuma ingin melanjutkan BACA Blog :

1. klik file yang akan di buka
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
http://seputarduniapengetahuan.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengunjung Saya


free statistics

Pengikut

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork
Jumat, 28 Desember 2012


A.     Pengertian
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan. Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi pompanya.
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung. Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung.  Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya. Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu. Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti transfusi yang berlebihan atau anuria.
B.      Etiologi dan Patofisiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis  yang menyebabkan gagal jantung mencakup keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi : regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta  dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada imfark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-fktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
C.     Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban awal  akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curh jantung. Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk mempertahnkan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal jantung dini, pada keadaan istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel  dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung  maka kompensasi akan menjadi semakin luring efektif.
D.     Penanganan
Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal, kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang lebih agresif .
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang sederhan namun sangat tepat dalam  pennganan gagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jngn sampai memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka. Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas yang terbatas juga dapat menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia mungkin diperlukan pad pembatasan aktifitas yang ketat untuk mengendalikan gejala.
E.      Pemeriksaan Diagnostik
1.        EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi, fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2.        Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik, perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
3.        Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan memperkirakan pergerakan dinding.
4.        Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi fraksi/perubahan kontrktilitas.
ASUHAN KEPERAWATAN
A.     Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan mortalitas.
1.        Aktivitas/istirahat
a.        Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,    insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b.       Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi,  tanda vital berubah pad aktivitas.
2.        Sirkulasi
a.        Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya, penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b.       Tanda :
1)       TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
2)       Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
3)       Irama Jantung ; Disritmia.
4)       Frekuensi jantung ; Takikardia.
5)       Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
6)       posisi secara inferior ke kiri.
7)       Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
8)       terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
9)       Murmur sistolik dan diastolic.
10)   Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
11)   Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
12)   kapiler lambat.
13)   Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
14)   Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
15)   Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting 
16)   khususnya pada ekstremitas.
3.        Integritas ego
a.        Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b.       Tanda      : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah tersinggung.
4.        Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari (nokturia), diare/konstipasi.
5.        Makanan/cairan
a.        Gejala      : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
b.       Tanda      : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6.        Higiene
a.        Gejala      : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas Perawatan diri.
b.       Tanda      : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7.        Neurosensori
a.        Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b.       Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8.        Nyeri/Kenyamanan
a.        Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan atas dan sakit pada otot.
b.       Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku melindungi diri.
9.        Pernapasan
a.        Gejala      : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b.       Tanda      :
1)       Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori pernpasan.
2)       Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3)       Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema pulmonal)
4)       Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5)       Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6)       Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10.    Keamanan
Gejala  : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot, kulit lecet.
11.    Interaksi sosial          
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa dilakukan.
12.    Pembelajaran/pengajaran
a.        Gejala      : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya : penyekat saluran kalsium.
b.       Tanda      : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
B.      Diagnosa Keperawatan
1.        Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik,  Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik,  Perubahan structural, ditandai dengan ;
a.        Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia, perubahan gambaran pola EKG
b.       Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
c.        Bunyi ekstra (S3 & S4)
d.       Penurunan keluaran urine
e.        Nadi perifer tidak teraba
f.        Kulit dingin kusam
g.       Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri dada.
Tujuan
Klien akan :  Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat diterima (disritmia   terkontrol atau hilang) dan bebas gejala gagal jantung , Melaporkan penurunan epiode dispnea, angina, Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi
a.        Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
Rasional : Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi penurunan kontraktilitas ventrikel.
b.       Catat bunyi jantung
Rasional : S1 dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.
c.        Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal, dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur untuk dipalpasi dan pulse alternan.
d.       Pantau TD
Rasional : Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi.
e.        Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional : Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan kongesti vena.
f.        Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan obat  sesuai indikasi  (kolaborasi)
Rasional : Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
2.        Aktivitas intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai dengan : Kelemahan, kelelahan,  Perubahan tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
Tujuan /kriteria  evaluasi :
Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,  Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi
a.        Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat beta.
Rasional : Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat (vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.
b.       Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional : Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
c.        Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan dekompensasi jantung  daripada kelebihan aktivitas.
d.       Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas (kolaborasi)
Rasional : Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi jantung tidak dapat membaik kembali,
3.        Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3,  Oliguria, edema,  Peningkatan berat badan, hipertensi,  Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
Tujuan /kriteria  evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan danpengeluaran, bunyi nafas bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil dan tidak ada edema.,  Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi :
a.        Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat dimana diuresis terjadi.
Rasional : Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
b.       Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran selama 24 jam
Rasional : Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan (hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
c.        Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi semifowler selama fase akut.
Rasional : Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH sehingga meningkatkan diuresis.
d.       Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional : Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
e.        Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual, distensi abdomen dan konstipasi.
Rasional : Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi gaster/intestinal.
f.        Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)
g.       Konsul dengan ahli diet.
Rasional : perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang  memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan natrium.
4.        Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan dengan : perubahan menbran kapiler-alveolus.
Tujuan /kriteria  evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi dalam program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi.
Intervensi :
a.        Pantau bunyi nafas, catat krekles
Rasional : menyatakan adnya kongesti paru/pengumpulan secret  menunjukkan kebutuhan untuk intervensi lanjut.
b.       Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional : membersihkan jalan nafas dan memudahkan aliran oksigen.
c.        Dorong perubahan posisi.
Rasional : Membantu mencegah atelektasis dan pneumonia.
d.       Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi oksimetri.
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat selama edema paru.
e.        Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi
5.        Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan/kriteria  evaluasi
Klien akan : Mempertahankan integritas kulit,  Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah kerusakan kulit.
Intervensi
a.        Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema, area sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
Rasional : Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan gangguan status nutrisi.
b.       Pijat area kemerahan atau yang memutih
Rasional : meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
c.        Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan rentang gerak pasif/aktif.
Rasional : Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
d.       Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan kelembaban/ekskresi.
Rasional : Terlalu kering atau lembab merusak kulit/mempercepat  kerusakan.
e.        Hindari obat intramuskuler
Rasional : Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi..
6.        Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi dan program pengobatan berhubungan dengan  kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi, terulangnya episode GJK yang dapat dicegah.
Tujuan/kriteria  evaluasi
Klien akan :
a.        Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan episode berulang dan mencegah komplikasi.
b.       Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa teknik untuk menangani.
c.        Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
Intervensi
a.        Diskusikan fungsi jantung normal
Rasional : Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program pengobatan.
b.       Kuatkan rasional pengobatan.
Rasional : Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko eksaserbasi gejala.
c.        Anjurkan makanan diet pada pagi hari.
Rasional : Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk mencegah/membatasi menghentikan tidur.
d.       Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung suatu indikasi
Rasional : dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah.

     
DAFTAR PUSTAKA

Barbara C Long, Perawatan Medikal Bedah (Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 - 450

Doenges Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan (Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3, Penerbit Buku Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.

Junadi P, Atiek S, Husna A, Kapita selekta  Kedokteran (Efusi Pleura), Media Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 1982, Hal.206 - 208

Wilson Lorraine M, Patofisiologi (Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit), Buku 2,  Edisi 4, Tahun 1995, Hal ; 704 – 705 & 753 - 763.

Untuk hasil yang lebih jelas dalam  bentuk Microsoft Word, silahkan download disini
Read More..
Sejak adanya krisis moneter dan ketidakstabilan politik nasional Indonesia, pekerja sangat memerlukan perlindungan hukum, mengingat Indonesia adalah negara hukum. Dampak krisis moneter diantaranya adalah adanya penutupan perusahaan, adanya pemutusan hubungan kerja secara besar- besaran atau adanya efisiensi tenaga kerja.  Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja adalah kepastian hukum tentang adanya hak-hak normatif bagi pekerja yang diputus hubungan kerjanya karena pekerja melakukan  kesalahan berat.
       Pekerja yang melakukan kesalahan berat dapat langsung di putus hubungan kerjanya apabila ia tertangkap tangan, pengakuan  serta ada bukti lain yang cukup bahwa ia telah melakukan kesalahan berat.
       Pekerja yang mengalami PHK karena melakukan kesalahan berat  berhak mendapat  uang penggantian hak 1 x ketentuan serta uang pisah. Apabila hak itu tidak diperoleh maka dapat dilakukan upaya hukum secara administrasi atau secara perdata, selama pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004  belum terbentuk.
 
       Kata kunci : perlindungan hukum, pekerja, PHK, kesalahan berat.
   
 
I   Pendahuluan
       Setiap manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat dilakukan dengan bekerja kepada negara  yang selanjutnya disebut sebagai pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau pekerja.
       Pengertian pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.. Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6). Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1  angka 2 UU no. 13 tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.
       Jumlah tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar mereka adalah rendah.
       Dalam rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi, membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan pekerja pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja Indonesia lebih rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 : 23). Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
      Keadaan ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur konstitutip yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
       Majikan dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
      Secara sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain. Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP. Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi pekerja terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)  
      Perlindungan  hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah. Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5) 
         Bruggink membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157). 
       Dari uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
       
II     Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
       Pemerintah telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan  dalam  UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun 2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil maupun spiritual.
      Selanjutnya, berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam penjelasannnya, yaitu :
Asas pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata. Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk kerja sama yang saling mendukung. 
      Tujuan pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003 adalah :
  1. memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
  2. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
  3. memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
  4. meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
        Pemberdayaan dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia. Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
       Pemerataan kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor dan daerah.
       Penekanan pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas pekerja.  Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan  kesejahteraan meningkat. Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas nasional dan kesejahteraan masyarakat,  (Machsoen Ali, 1999 :162 ).  
    1. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
       Sebelum membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu ”Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
       Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
       Hubungan kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
         Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
      Pengertian pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
  1. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
  2. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
  3. Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
        Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan adalah:
      1. Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
      2. Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
        Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan kerja diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan kesejahteraan pekerja.  Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi para pekerja hendaknya :
  1. Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
  2. Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah  dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna); dan
  3. Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
        Agar  kedua belah pihak dapat melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
       Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan selalu terwujud. (Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
       Selama pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13 Tahun 2003,
Pemutusan hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.  
       Pemutusan hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi si pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK harus diupayakan untuk dicegah.
       Pengusaha dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal 153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
    1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
    2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
    3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
    4. Pekerja/buruh menikah;
    5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
    6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan  pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
    8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
    9. Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
    10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.
        Apabila PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88) 
       Berdasarkan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja karena alasan-alasan sebagai berikut :
  1. Pekerja melakukan kesalahan ringan;
  2. Pekerja melakukan kesalahan berat;
  3. Perusahaan tutup karena pailit;
  4. Force majeur;
  5. Adanya efisiensi;
  6. Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
  7. Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
  8. Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).
         Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :
    1. Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
      1. Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
      2. Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
      3. Menurunnya persediaan bahan dasar.
      4. Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
    2. Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
    3. Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
    4. Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)

Alasan lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :  
        1. Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
        2. Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
        3. Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
        4. Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)

       Alasan PHK itu di dalam prakteknya ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada hal-hal yang tidak benar di dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak, antara lain :
a… Jika antara lain  tidak menyebutkan alasannya atau.
      1. Jika alasannya PHK itu dicari-cari  atau alasannya palsu.
      2. Jika akibat pemberhentian  itu  adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
      3. Jika buruh diperhentikan  bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf  dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
       Apabila alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat dibatalkan. Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan yaitu :
  1. Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
  2. Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
       Pada garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu :
  1. Pemutusan hubungan kerja karena hukum
   Jika hubungan kerja yang diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir, maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan penting.
  1. Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:
    1. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
    2. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
    3. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
    4. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
    5. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
    6. memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
 Pemutusan hubungan kerja karena kehendak majikan
    1. Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003

Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK

       Apabila PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan masa kerja  yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
       Ketentuan uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
  2. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
  3. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
  4. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
  5. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
  6. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
  7. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
  8. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
  9. Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.

       Ketentuan uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
  1. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
  2. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
  3. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
  4. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
  5. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
  6. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
  7. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
  8. Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.

       Uang penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
  1. Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
  4. Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

IV. Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat
      Berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
    1. melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
    2. memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
    3. mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
    4. melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian  di lingkungan kerja;
    5. menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
    6. membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
    7. dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik  milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
    8. dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
    9. membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
    10. melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
        Sebelas kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van starfrecht.
       Diputuskannya pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
  1. pekerja / buruh tertangkap tangan;
  2. ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
  3. bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
        Tiga syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada, tidak adanya salah satu syarat dari ketiga  syarat itu menjadikan putusan pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat diterima.
       Syarat pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat.
       Syarat yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat dalam  bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat itu  harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
       Syarat yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh sekurang-kurangnya dua orang saksi.  Syarat ketiga ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua. Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
       Hal ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis). Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif karena antara  pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13 Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan.
       Penggunaan kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tertulis dan.
       Kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat dipahami.  Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak. Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK. Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
       Kekurang cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat keberlakuan yuridis dari Bruggink.
       Sebagai bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan  tegas menetapkan bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah melakukan kesalahan berat.
       Apabila pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat  maka pekerja itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)  Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja / buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 ayat (4)
Bagi pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. 
      Ketentuan uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo (Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
       A bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan  satu juta. Masa kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A tertangkap tangan telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
       Adapun hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah  uang penggantian hak yang sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
       Dari ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000. Jadi A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang belum diterima (misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ; biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja ;
       Keseluruhan hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang benar. 

V  Upaya Hukum Bagi Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan berat.
      Apabila ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161 ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004 lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
      Upaya hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja setempat .
      Apabila anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional.
      Apabila diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
      Upaya hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
      Sejak adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004, no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan hubungan industrial akan dilakukan secara  bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
       Bipartid, yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
       Apabila isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun 2004 yaitu :
  1. Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
  2. Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
  3. Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
  4. Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
  5. Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
        Berdasarkan ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.

VI    Kesimpulan

      Setiap pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang saksi.
       Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak dan uang pisah.
      Apabila hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri berdasarkan pasal 1365 BW.
       Apabila pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004 sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid, mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.
           
 
DAFTAR BACAAN 
Asikin, Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada, Jakarta. 
Asri Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang Tuah, vol.2 no. 2. 
-------, 2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum Ketenagakerjaan,  Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya. 
Bruggink, JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.  
Djumadi, 1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo Perkasa, Banjarmasin. 
Djumialdji, FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta. 
Halim, A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual, Pradnya Paramita, Jakarta. 
Hartono Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta. 
Iman Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta. 
-------,1994, Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta. 
Kartasapoetra, G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar Grafindo, Jakarta. 
-------, 1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja, Armico, Bandung. 
Kartasapoetra, G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan, Armico, Bandung. 
Philipus M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November 1994 
Rajagukguk, HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan (co-determination), makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta. 
Sandjun H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta 
Sukarno, 1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan Pancasila, Bandung. 
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah PHK dan Pemogokan, PT. Bina Aksara, Jakarta. 
Toha, Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh,   PT. Bina Aksara, Jakarta. 
Undang-Undang, No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN, No. 4279). 
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No. 4356). 
Burgerlijk Wetboek.. 
            Adikusuma, S. 1992,  Kamus lengkap populer, Pustaka Tinta Mas, Surabaya.

Untuk hasil yang lebih jelas dalam bentuk Microsoft Word Silahkan download disini
Read More..

Popular Posts

Berita Hari Ini