Translate
Cara Melanjutkan Baca
cara downlaod File :
1. klik file yang akan di download
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
3. klik unduh
4. lalu tunggu 20 detik mengunduh file tersebut
atau cuma ingin melanjutkan BACA Blog :
1. klik file yang akan di buka
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
Blog Archive
-
▼
2012
(21)
-
▼
Desember
(14)
- Gagal Jantung Kongestif (CHF)
- PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DI PHK KARENA...
- Contoh Kesimpulan Termohon pada Pengadilan Agama
- Contoh Surat Kuasa Termohon pada Pengadilan Agama
- Contoh Surat Kuasa Pemohon pada Pengadilan Agama
- Skrip Sidang di Pengadilan Agama
- Contoh Surat Replik
- Contoh Surat Duplik
- Soal dan Jawaban Untuk Tugas PTUN
- Definisi Perceraian
- PROPOSAL SEMINAR PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
- Clixsense no SCAM!!!
- Dinamika Hukum Islam Di Indonseia (Strategi Teorit...
- Ayuwage PTC Tidak Scam!!!
-
▼
Desember
(14)
http://seputarduniapengetahuan.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
Pengunjung Saya
Pengikut
Jumat, 28 Desember 2012
A.
Pengertian
Gagal jantung adalah keadaan patofisiologik dimana jantung sebagai
pompa tidak mampu memenuhi kebutuhan darah untuk metabolisme jaringan.
Ciri-ciri yang penting dari defenisi ini adalah pertama defenisi gagal adalah
relatif terhadap kebtuhan metabolic tubuh, kedua penekanan arti gagal ditujukan
pada fungsi pompa jantung secara keseluruhan. Istilah gagal miokardium
ditujukan spesifik pada fungsi miokardium ; gagal miokardium umumnya
mengakibatkan gagal jantung, tetapi mekanisme kompensatorik sirkulai dapat
menunda atau bahkan mencegah perkembangan menjadi gagal jantung dalam fungsi
pompanya.
Istilah gagal sirkulasi lebih bersifat umum dari pada gagal jantung.
Gagal sirkulasi menunjukkan ketidakmampuan dari sistem kardiovaskuler untuk
melakukan perfusi jaringan dengan memadai. Defenisi ini mencakup segal kelainan
dari sirkulasi yang mengakibatkan perfusi jaringan yang tidak memadai, termasuk
perubahan dalam volume darah, tonus vaskuler dan jantung. Gagal jantung kongetif adlah keadaan dimana
terjadi bendungan sirkulasi akibat gagal jantung dan mekanisme kompenstoriknya.
Gagal jantung kongestif perlu dibedakan dengan istilah yang lebih umum yaitu.
Gagal sirkulasi, yang hanya berarti kelebihan bebabn sirkulasi akibat bertambahnya
volume darah pada gagal jantung atau sebab-sebab diluar jantung, seperti
transfusi yang berlebihan atau anuria.
B.
Etiologi dan
Patofisiologi
Gagal jantung adalah komplikasi yang paling sering dari segala jenis
penyakit jantung kongestif maupun didapat. Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung mencakup
keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal, beban akhir atau menurunkan
kontraktilitas miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi
: regurgitasi aorta dan cacat septum ventrikel. Dan beban akhir meningkat pada
keadaan dimana terjadi stenosis aorta
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada
imfark miokardium dan kardiomiopati.
Faktor-fktor yang dapat memicu perkembangan gagal jantung melalui
penekanana sirkulasi yang mendadak dapat berupa : aritmia, infeksi sistemik dan
infeksi paru-paru dan emboli paru-paru. Pennganan yang efektif terhadap gagal
jantung membutuhkan pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme
fisiologis dan penykit yang mendasarinya, tetapi juga terhadap faktor-faktor
yang memicu terjadinya gagal jantung.
C.
Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal
jantung akibat penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel
yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi curah
sekuncup dan meningkatkan volume residu ventrikel.
Tekanan rteri paru-paru dapat meningkat sebagai respon terhadap
peningkatan kronis tekanan vena paru. Hipertensi pulmonary meningkatkan tahanan
terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serentetan kejadian seprti yang terjadi pada
jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan, dimana akhirnya akan terjdi
kongesti sistemik dan edema.
Perkembangan dari kongesti sistemik atau paru-paru dan edema dapat
dieksaserbasi oleh regurgitasi fungsional dan katub-katub trikuspidalis atau
mitralis bergantian. Regurgitasi fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi dari
annulus katub atrioventrikularis atau perubahan-perubahan pada orientasi otot papilaris
dan kordatendinae yang terjadi sekunder akibat dilatasi ruang.
Sebagai respon terhadap gagal jantung ada tiga meknisme primer yang
dapat dilihat; meningkatnya aktifitas adrenergik simpatik, meningkatnya beban
awal akibat aktivasi istem rennin-angiotensin-aldosteron
dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon ini mencerminkan usaha untuk
mempertahankan curh jantung. Meknisme-meknisme ini mungkin memadai untuk
mempertahnkan curah jantung pada tingkat normal atau hampir normal pada gagal
jantung dini, pada keadaan istirahat. Tetapi kelainan pad kerj ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak
pada keadaan berktivitas. Dengn berlanjutny gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin luring
efektif.
D.
Penanganan
Gagal jantung ditngani dengan tindakan umum untuk mengurangi beban
kerja jantung dan manipulasi selektif terhadap ketiga penentu utama dari fungsi
miokardium, baik secar sendiri-sendiri maupun gabungan dari : beban awal,
kontraktilitas dan beban akhir.Penanganan biasanya dimulai ketika gejala-gejala
timbul pad saat beraktivitas biasa. Rejimen penanganan secar progresif
ditingkatkan sampai mencapai respon klinik yang diinginkan. Eksaserbasi akut
dari gagal jantung atau perkembangan menuju gagal jantung yang berat dapat
menjadi alasan untuk dirawat dirumah sakit atau mendapat penanganan yang lebih
agresif .
Pembatasan aktivitas fisik yang ketat merupakan tindakan awal yang
sederhan namun sangat tepat dalam
pennganan gagal jantung. Tetapi harus diperhatikan jngn sampai
memaksakan lrngan yng tak perlu untuk menghindari kelemahan otot-otot rangka.
Kini telah dikethui bahwa kelemahan otot rangka dapat meningkatkan intoleransi
terhadap latihan fisik. Tirah baring dan aktifitas yang terbatas juga dapat
menyebabkan flebotrombosis. Pemberian antikoagulansia mungkin diperlukan pad
pembatasan aktifitas yang ketat untuk mengendalikan gejala.
E.
Pemeriksaan
Diagnostik
1.
EKG : Hipertrofi atrial atau ventrikuler, penyimpangan
aksis, iskemia san kerusakan pola mungkin terlihat. Disritmia mis : takhikardi,
fibrilasi atrial. Kenaikan segmen ST/T persisten 6 minggu atau lebih setelah
imfark miokard menunjukkan adanya aneurime ventricular.
2.
Sonogram : Dapat menunjukkan dimensi pembesaran bilik,
perubahan dalam fungsi/struktur katub atau are penurunan kontraktilitas ventricular.
3.
Skan jantung : Tindakan penyuntikan fraksi dan
memperkirakan pergerakan dinding.
4.
Kateterisasi jantung : Tekanan bnormal merupakan
indikasi dan membantu membedakan gagal jantung sisi kanan verus sisi kiri, dan
stenosi katup atau insufisiensi, Juga mengkaji potensi arteri kororner. Zat
kontras disuntikkan kedalam ventrikel menunjukkan ukuran bnormal dan ejeksi
fraksi/perubahan kontrktilitas.
ASUHAN
KEPERAWATAN
A.
Pengkajian
Gagal serambi kiri/kanan dari jantung mengakibtkan ketidakmampuan
memberikan keluaran yang cukup untuk memenuhi kebutuhan jaringan dan
menyebabkan terjadinya kongesti pulmonal dan sistemik . Karenanya diagnostik
dan teraupetik berlnjut . GJK selanjutnya dihubungkan dengan morbiditas dan
mortalitas.
1.
Aktivitas/istirahat
a.
Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang
hari, insomnia, nyeri dada dengan
aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b.
Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi,
tanda vital berubah pad aktivitas.
2.
Sirkulasi
a.
Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK
sebelumnya, penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok
septic, bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b.
Tanda :
1)
TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
2)
Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
3)
Irama Jantung ; Disritmia.
4)
Frekuensi jantung ; Takikardia.
5)
Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
6)
posisi secara inferior ke kiri.
7)
Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
8)
terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
9)
Murmur sistolik dan diastolic.
10)
Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
11)
Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
12)
kapiler lambat.
13)
Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
14)
Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
15)
Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
16)
khususnya pada ekstremitas.
3.
Integritas ego
a.
Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang
berhubungan dengan penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan
medis)
b.
Tanda :
Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah, ketakutan dan mudah
tersinggung.
4.
Eliminasi
Gejala : Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.
5.
Makanan/cairan
a.
Gejala :
Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat badan signifikan,
pembengkakan pada ekstremitas bawah, pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi
garam/makanan yang telah diproses dan penggunaan diuretic.
b.
Tanda :
Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen (asites) serta edema (umum,
dependen, tekanan dn pitting).
6.
Higiene
a.
Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama
aktivitas Perawatan diri.
b.
Tanda :
Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7.
Neurosensori
a.
Gejala
: Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi,
perubahan perilaku dan mudah tersinggung.
8.
Nyeri/Kenyamanan
a.
Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri
abdomen kanan atas dan sakit pada otot.
b.
Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit
danperilaku melindungi diri.
9.
Pernapasan
a.
Gejala :
Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan beberapa bantal, batuk
dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat penyakit kronis, penggunaan bantuan
pernapasan.
b. Tanda :
1)
Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot
asesori pernpasan.
2)
Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk
terus menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3)
Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih
(edema pulmonal)
4)
Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5)
Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6)
Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10.
Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental,
kehilangankekuatan/tonus otot, kulit lecet.
11.
Interaksi sosial
Gejala : Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.
12.
Pembelajaran/pengajaran
a.
Gejala :
menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung, misalnya : penyekat saluran
kalsium.
b.
Tanda : Bukti
tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
B.
Diagnosa
Keperawatan
1.
Penurunan curah jantung berhubungan dengan ; Perubahan
kontraktilitas miokardial/perubahan inotropik,
Perubahan frekuensi, irama dan konduksi listrik, Perubahan structural, ditandai dengan ;
a.
Peningkatan frekuensi jantung (takikardia) : disritmia,
perubahan gambaran pola EKG
b.
Perubahan tekanan darah (hipotensi/hipertensi).
c.
Bunyi ekstra (S3 & S4)
d.
Penurunan keluaran urine
e.
Nadi perifer tidak teraba
f.
Kulit dingin kusam
g.
Ortopnea,krakles, pembesaran hepar, edema dan nyeri
dada.
Tujuan
Klien akan : Menunjukkan tanda vital dalam batas yang dapat
diterima (disritmia terkontrol atau
hilang) dan bebas gejala gagal jantung , Melaporkan penurunan epiode dispnea,
angina, Ikut serta dalam aktivitas yang mengurangi beban kerja jantung.
Intervensi
a.
Auskultasi nadi apical ; kaji frekuensi, iram jantung
Rasional :
Biasnya terjadi takikardi (meskipun pada saat istirahat) untuk mengkompensasi
penurunan kontraktilitas ventrikel.
b.
Catat bunyi jantung
Rasional : S1
dan S2 mungkin lemah karena menurunnya kerja pompa. Irama Gallop umum (S3 dan
S4) dihasilkan sebagai aliran darah kesermbi yang disteni. Murmur dapat
menunjukkan Inkompetensi/stenosis katup.
c.
Palpasi nadi perifer
Rasional :
Penurunan curah jantung dapat menunjukkan menurunnya nadi radial, popliteal,
dorsalis, pedis dan posttibial. Nadi mungkin cepat hilang atau tidak teratur
untuk dipalpasi dan pulse alternan.
d.
Pantau TD
Rasional :
Pada GJK dini, sedng atu kronis tekanan drah dapat meningkat. Pada HCF lanjut
tubuh tidak mampu lagi mengkompensasi danhipotensi tidak dapat norml lagi.
e.
Kaji kulit terhadp pucat dan sianosis
Rasional :
Pucat menunjukkan menurunnya perfusi perifer ekunder terhadap tidak dekutnya
curh jantung; vasokontriksi dan anemia. Sianosis dapt terjadi sebagai refrakstori
GJK. Area yang sakit sering berwarna biru atu belang karena peningkatan
kongesti vena.
f.
Berikan oksigen tambahan dengan kanula nasal/masker dan
obat sesuai indikasi (kolaborasi)
Rasional :
Meningkatkn sediaan oksigen untuk kebutuhan miokard untuk melawan efek
hipoksia/iskemia. Banyak obat dapat digunakan untuk meningkatkan volume
sekuncup, memperbaiki kontraktilitas dan menurunkan kongesti.
2.
Aktivitas
intoleran berhubungan dengan : Ketidak seimbangan antar suplai okigen. Kelemahan
umum, Tirah baring lama/immobilisasi. Ditandai
dengan : Kelemahan, kelelahan, Perubahan
tanda vital, adanya disrirmia, Dispnea, pucat, berkeringat.
Tujuan /kriteria evaluasi :
Klien akan : Berpartisipasi pad ktivitas yang
diinginkan, memenuhi perawatan diri sendiri,
Mencapai peningkatan toleransi aktivitas yang dapat diukur, dibuktikan
oelh menurunnya kelemahan dan kelelahan.
Intervensi
a.
Periksa tanda vital sebelum dan segera setelah
aktivitas, khususnya bila klien menggunakan vasodilator,diuretic dan penyekat
beta.
Rasional :
Hipotensi ortostatik dapat terjadi dengan aktivitas karena efek obat
(vasodilasi), perpindahan cairan (diuretic) atau pengaruh fungsi jantung.
b.
Catat respons kardiopulmonal terhadap aktivitas, catat
takikardi, diritmia, dispnea berkeringat dan pucat.
Rasional :
Penurunan/ketidakmampuan miokardium untuk meningkatkan volume sekuncup selama
aktivitas dpat menyebabkan peningkatan segera frekuensi jantung dan kebutuhan
oksigen juga peningkatan kelelahan dan kelemahan.
c.
Evaluasi peningkatan intoleran aktivitas.
Rasional : Dapat menunjukkan peningkatan
dekompensasi jantung daripada kelebihan
aktivitas.
d.
Implementasi program rehabilitasi jantung/aktivitas
(kolaborasi)
Rasional :
Peningkatan bertahap pada aktivitas menghindari kerja jantung/konsumsi oksigen
berlebihan. Penguatan dan perbaikan fungsi jantung dibawah stress, bila fungsi
jantung tidak dapat membaik kembali,
3.
Kelebihan volume cairan berhubungan dengan : menurunnya
laju filtrasi glomerulus (menurunnya curah jantung)/meningkatnya produksi ADH
dan retensi natrium/air. ditandai dengan : Ortopnea, bunyi jantung S3, Oliguria, edema, Peningkatan berat badan, hipertensi, Distres pernapasan, bunyi jantung abnormal.
Tujuan /kriteria evaluasi,
Klien akan : Mendemonstrasikan
volume cairan stabil dengan keseimbangan masukan danpengeluaran, bunyi nafas
bersih/jelas, tanda vital dalam rentang yang dapat diterima, berat badan stabil
dan tidak ada edema., Menyatakan
pemahaman tentang pembatasan cairan individual.
Intervensi :
a.
Pantau pengeluaran urine, catat jumlah dan warna saat
dimana diuresis terjadi.
Rasional :
Pengeluaran urine mungkin sedikit dan pekat karena penurunan perfusi ginjal. Posisi terlentang membantu diuresis
sehingga pengeluaran urine dapat ditingkatkan selama tirah baring.
b.
Pantau/hitung keseimbangan pemaukan dan pengeluaran
selama 24 jam
Rasional :
Terapi diuretic dapat disebabkan oleh kehilangan cairan tiba-tiba/berlebihan
(hipovolemia) meskipun edema/asites masih ada.
c.
Pertahakan duduk atau tirah baring dengan posisi
semifowler selama fase akut.
Rasional :
Posisi tersebut meningkatkan filtrasi ginjal dan menurunkan produksi ADH
sehingga meningkatkan diuresis.
d.
Pantau TD dan CVP (bila ada)
Rasional :
Hipertensi dan peningkatan CVP menunjukkan kelebihan cairan dan dapat
menunjukkan terjadinya peningkatan kongesti paru, gagal jantung.
e.
Kaji bisisng usus. Catat keluhan anoreksia, mual,
distensi abdomen dan konstipasi.
Rasional :
Kongesti visceral (terjadi pada GJK lanjut) dapat mengganggu fungsi
gaster/intestinal.
f.
Pemberian obat sesuai indikasi (kolaborasi)
g.
Konsul dengan ahli diet.
Rasional :
perlu memberikan diet yang dapat diterima klien yang memenuhi kebutuhan kalori dalam pembatasan
natrium.
4.
Resiko tinggi gangguan pertukaran gas berhubungan
dengan : perubahan menbran kapiler-alveolus.
Tujuan /kriteria evaluasi,
Klien akan :
Mendemonstrasikan ventilasi dan oksigenisasi dekuat pada jaringan ditunjukkan
oleh oksimetri dalam rentang normal dan bebas gejala distress pernapasan., Berpartisipasi
dalam program pengobatan dalam btas kemampuan/situasi.
Intervensi :
a.
Pantau bunyi nafas, catat krekles
Rasional : menyatakan adnya
kongesti paru/pengumpulan secret menunjukkan
kebutuhan untuk intervensi lanjut.
b.
Ajarkan/anjurkan klien batuk efektif, nafas dalam.
Rasional : membersihkan jalan
nafas dan memudahkan aliran oksigen.
c.
Dorong perubahan posisi.
Rasional : Membantu mencegah
atelektasis dan pneumonia.
d.
Kolaborasi dalam Pantau/gambarkan seri GDA, nadi
oksimetri.
Rasional : Hipoksemia dapat terjadi berat
selama edema paru.
e.
Berikan obat/oksigen tambahan sesuai indikasi
5.
Resiko tinggi terhadap kerusakan integritas kulit
berhubungan dengan tirah baring lama, edema dan penurunan perfusi jaringan.
Tujuan/kriteria evaluasi
Klien akan : Mempertahankan integritas kulit, Mendemonstrasikan perilaku/teknik mencegah
kerusakan kulit.
Intervensi
a.
Pantau kulit, catat penonjolan tulang, adanya edema,
area sirkulasinya terganggu/pigmentasi atau kegemukan/kurus.
Rasional :
Kulit beresiko karena gangguan sirkulasi perifer, imobilisasi fisik dan
gangguan status nutrisi.
b.
Pijat area kemerahan atau yang memutih
Rasional :
meningkatkan aliran darah, meminimalkan hipoksia jaringan.
c.
Ubah posisi sering ditempat tidur/kursi, bantu latihan
rentang gerak pasif/aktif.
Rasional :
Memperbaiki sirkulasi waktu satu area yang mengganggu aliran darah.
d.
Berikan perawtan kulit, minimalkan dengan
kelembaban/ekskresi.
Rasional : Terlalu kering atau lembab
merusak kulit/mempercepat kerusakan.
e.
Hindari obat intramuskuler
Rasional :
Edema interstisial dan gangguan sirkulasi memperlambat absorbsi obat dan
predisposisi untuk kerusakan kulit/terjadinya infeksi..
6.
Kurang pengetahuan (kebutuhan belajar) mengenai kondisi
dan program pengobatan berhubungan dengan
kurang pemahaman/kesalahan persepsi tentang hubungan fungsi
jantung/penyakit/gagal, ditandai dengan : Pertanyaan masalah/kesalahan persepsi,
terulangnya episode GJK yang dapat dicegah.
Tujuan/kriteria evaluasi
Klien akan :
a.
Mengidentifikasi hubungan terapi untuk menurunkan
episode berulang dan mencegah komplikasi.
b.
Mengidentifikasi stress pribadi/faktor resiko dan beberapa
teknik untuk menangani.
c.
Melakukan perubahan pola hidup/perilaku yang perlu.
Intervensi
a.
Diskusikan fungsi jantung normal
Rasional :
Pengetahuan proses penyakit dan harapan dapat memudahkan ketaatan pada program
pengobatan.
b.
Kuatkan rasional pengobatan.
Rasional :
Klien percaya bahwa perubahan program pasca pulang dibolehkan bila merasa baik
dan bebas gejala atau merasa lebih sehat yang dapat meningkatkan resiko
eksaserbasi gejala.
c.
Anjurkan makanan diet pada pagi hari.
Rasional :
Memberikan waktu adequate untuk efek obat sebelum waktu tidur untuk
mencegah/membatasi menghentikan tidur.
d.
Rujuk pada sumber di masyarakat/kelompok pendukung
suatu indikasi
Rasional :
dapat menambahkan bantuan dengan pemantauan sendiri/penatalaksanaan dirumah.
DAFTAR PUSTAKA
Barbara C
Long, Perawatan Medikal Bedah
(Terjemahan), Yayasan IAPK Padjajaran Bandung, September 1996, Hal. 443 - 450
Doenges
Marilynn E, Rencana Asuhan Keperawatan
(Pedoman Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien), Edisi 3,
Penerbit Buku Kedikteran EGC, Tahun 2002, Hal ; 52 – 64 & 240 – 249.
Junadi P,
Atiek S, Husna A, Kapita selekta Kedokteran (Efusi Pleura), Media
Aesculapius, Fakultas Kedokteran Universita Indonesia, 1982, Hal.206 - 208
Untuk hasil yang lebih jelas dalam bentuk Microsoft Word, silahkan download disini
Label:
Kesehatan
|
0
komentar
Sejak adanya krisis moneter dan
ketidakstabilan politik nasional Indonesia, pekerja sangat memerlukan
perlindungan hukum, mengingat Indonesia adalah negara hukum. Dampak krisis
moneter diantaranya adalah adanya penutupan perusahaan, adanya pemutusan
hubungan kerja secara besar- besaran atau adanya efisiensi tenaga kerja.
Salah satu bentuk perlindungan hukum yang dibutuhkan oleh pekerja adalah
kepastian hukum tentang adanya hak-hak normatif bagi pekerja yang diputus
hubungan kerjanya karena pekerja melakukan kesalahan berat.
Pekerja
yang melakukan kesalahan berat dapat langsung di putus hubungan kerjanya
apabila ia tertangkap tangan, pengakuan serta ada bukti lain yang cukup
bahwa ia telah melakukan kesalahan berat.
Pekerja
yang mengalami PHK karena melakukan kesalahan berat berhak mendapat
uang penggantian hak 1 x ketentuan serta uang pisah. Apabila hak itu tidak diperoleh
maka dapat dilakukan upaya hukum secara administrasi atau secara perdata,
selama pengadilan hubungan industrial berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004
belum terbentuk.
Kata
kunci : perlindungan hukum, pekerja, PHK, kesalahan berat.
I Pendahuluan
I Pendahuluan
Setiap
manusia selalu membutuhkan biaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk
mendapatkan biaya hidup seseorang perlu bekerja. Bekerja dapat dilakukan secara
mandiri atau bekerja kepada orang lain. Bekerja kepada orang lain dapat
dilakukan dengan bekerja kepada negara yang selanjutnya disebut sebagai
pegawai atau bekerja kepada orang lain (swasta) yang disebut sebagai buruh atau
pekerja.
Pengertian
pekerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 3. UU No 13 tahun 2003 adalah
setiap orang yang bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain..
Iman Soepomo menyebutkan bahwa pekerja atau buruh adalah seseorang yang bekerja
kepada orang lain dengan mendapatkan upah (Iman Soepomo, 1974, hal. 6).
Sedangkan tenaga kerja berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 2 UU no. 13
tahun 2003 adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan
barang dan / atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk
masyarakat.
Jumlah
tenaga kerja yang tersedia di Indonesia tidak seimbang dengan jumlah lapangan
kerja yang tersedia. Jumlah tenaga kerja jauh lebih banyak dari pada jumlah
lapangan pekerjaan yang tersedia. Terlebih lagi dari sebagian besar tenaga
kerja yang tersedia adalah yang berpendidikan rendah atau tidak berpendidikan
sama sekali. Mereka kebanyakan adalah unskillabour, sehingga posisi tawar
mereka adalah rendah.
Dalam
rangka mengejar pertumbuhan ekonomi, salah satunya melalui industrialisaasi,
membawa akibat meletakkan posisi pemilik modal sebagai pelopor dan basis
pendukung bagi keberhasilan pembangunan nasional, sebaliknya menempatkan
pekerja pada posisi pemancing sektor penarik investasi sehingga nilai pekerja
Indonesia lebih rendah daripada nilai pekerja luar negeri (M Zaidun, 1997 :
23). Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan seolah-olah kurang
memperhatikan nasib pekerja. Hal ini ditunjang dengan adanya doktrin stabilitas
yang semakin memperlemah posisi tawar buruh ( Mansour Fakih, 1997 : 46)
Keadaan
ini menimbulkan adanya kecenderungan majikan untuk berbuat sewenang- wenang
kepada pekerja / buruhnya. Buruh dipandang sebagai obyek. Buruh dianggap
sebagai faktor ektern yang berkedudukan sama dengan pelanggan pemasok atau
pelanggan pembeli yang berfungsi menunjang kelangsungan perusahaan dan bukan
faktor intern sebagai bagian yang tidak terpisahkan atau sebagai unsur
konstitutip yang menjadikan perusahaan (HP Rajagukguk, 2000, hal 3).
Majikan
dapat dengan leluasa untuk menekan pekerja / buruhnya untuk bekerja secara
maksimal, terkadang melebihi kemampuan kerjanya. Misalnya majikan dapat
menetapkan upah hanya maksimal sebanyak upah minimum propinsi yang ada, tanpa
melihat masa kerja dari pekerja itu. Seringkali pekerja dengan masa kerja yang
lama upahnya hanya selisih sedikit lebih besar dari upah pekerja yang masa
kerjanya kurang dari satu tahun. Majikan enggan untuk meningkatkan atau
menaikkan upah pekerja meskipun terjadi peningkatan hasil produksi dengan dalih
bahwa takut diprotes oleh perusahaan – perusahaan lain yang sejenis.
Secara
sosiologis kedudukan buruh adalah tidak bebas. Sebagai orang yang tidak
mempunyai bekal hidup lain daripada itu, ia terpaksa bekerja pada orang lain.
Majikan inilah yang pada dasarnya menentukan syarat-syarat kerja. (HP.
Rajagukguk, 2000, hal.6). Mengingat kedudukan pekerja yang lebih rendah
daripada majikan maka perlu adanya campur tangan pemerintah untuk memberikan
perlindungan hukumnya. Perlindungan hukum menurut Philipus,
Selalu
berkaitan dengan kekuasaan. Ada dua kekuasaan yang selalu menjadi perhatian
yakni kekuasaan pemerintah dan kekuasaan ekonomi. Dalam hubungan dengan
kekuasaan pemerintah, permasalahan perlindungan hukum bagi rakyat (yang
diperintah), terhadap pemerintah (yang memerintah). Dalam hubungan dengan
kekuasaan ekonomi, permasalahan perlindungan hukum adalah perlindungan bagi
silemah (ekonomi) terhadap si kuat (ekonomi), misalnya perlindungan bagi
pekerja terhadap pengusaha. ( Philipus M. Hadjon, 1994, hal. 4)
Perlindungan
hukum bagi buruh sangat diperlukan mengingat kedudukannya yang lemah.
Disebutkan oleh Zainal Asikin, yaitu :
Perlindungan
hukum dari kekuasaan majikan terlaksana apabila peraturan perundang-undangan
dalam bidang perburuhan yang mengharuskan atau memaksa majikan bertindak seperti
dalam perundang-undangan tersebut benar-benar dilaksanakan semua pihak karena
keberlakuan hukum tidak dapat diukur secara yuridis saja, tetapi diukur secara
sosiologis dan filosofis . (Zainal Asikin, 1993, hal.5)
Bruggink
membagi keberlakuan hukum menjadi tiga, yaitu keberlakuan faktual, keberlakuan
normatif dan keberlakuan evaluatif / material.
Keberlakuan
faktual yaitu kaidah dipatuhi oleh para warga masyarakat/ efektif kaidah
diterapkan dan ditegakkan oleh pejabat hukum; keberlakuan normatif yaitu kaidah
cocok dalam sistim hukum herarkis, keberlakuan evaluatif yaitu secara empiris
kaidah tampak diterima, secara filosofis kaidah memenuhi sifat mewajibkan
karena isinya.( JJ.H. Bruggink, 1996, hal.157).
Dari
uraian di atas maka dapat ditarik permasalahan yaitu bagaimana bentuk
perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan kerjanya oleh majikan
karena melakukan kesalahan berat. Selain itu juga bagaimana upaya hukum yang
dapat dilakukan oleh pekerja apabila pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai
dengan ketentuan yang berlaku.
II
Kebijakan pemerintah di bidang ketenagakerjaan
Pemerintah
telah menetapkan kebijakan dibidang ketenagakerjaan yang dirumuskan
dalam UU No. 13 tahun 2003. Berdasarkan ketentuan pasal 2 UU No. 13 tahun
2003 pembangunan ketenagakerjaan berlandaskan Pancasila dan Undang- Undang
Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan
dalam rangka pembangunan manusia Indonesia seutuhnya. Oleh sebab itu
pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan untuk mewujudkan manusia dan
masyarakat Indonesia yang sejahtera, adil, makmur dan merata baik materiil
maupun spiritual.
Selanjutnya,
berdasarkan ketentuan pasal 3 UU No. 13 Tahun 2003 pembangunan ketenagkerjaan
diselenggarakan atas asas keterpaduan dengan melalui koordinasi fungsional
lintas sektoral pusat dan daerah. Hal ini dijelaskan lebih lanjut dalam
penjelasannnya, yaitu :
Asas
pembangunan ketenagakerjaan pada dasarnya sesuai dengan asas pembangunan
nasional, khususnya asas demokrasi Pancasila serta asas adil dan merata.
Pembangunan ketenagakerjaan mempunyai banyak dimensi dan keterkaitan dengan
berbagai pihak yaitu antara pemerintah, pengusaha dan pekerja/ buruh. Oleh
sebab itu, pembangunan ketenagakerjaan dilaksanakan secara terpadu dalam bentuk
kerja sama yang saling mendukung.
Tujuan
pembangunan ketenagakerjaan berdasarkan ketentuan pasal 4 UU No. 13 Tahun 2003
adalah :
- memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi;
- Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional dan daerah;
- memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan kesejahteraan dan;
- meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya
Pemberdayaan
dan pendayagunaan tenaga kerja merupakan suatu kegiatan yang terpadu untuk
dapat memberikan kesempatan kerja seluas-luasnya bagi tenaga kerja Indonesia.
Melalui pemberdayaan dan pendayagunaan ini diharapkan tenaga kerja Indonesia
dapat berpartisipasi secara optimal dalam pembangunan nasional, namun dengan
tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaannya.
Pemerataan
kesempatan kerja harus diupayakan di seluruh wilayah negara kesatuan Republik
Indonesia sebagai satu kesatuan pasar kerja dengan memberikan kesempatan yang
sama untuk memperoleh pekerjaan bagi seluruh tenaga kerja Indonesia sesuai
dengan bakat, minat dan kemampuannya. Demikian pula pemerataan penempatan
tenaga kerja perlu diupayakan agar dapat mengisi kebutuhan di seluruh sektor
dan daerah.
Penekanan
pembangunan ketenagakerjaan pada pekerja mengingat bahwa pekerja adalah pelaku
pembangunan. Berhasil tidaknya pembangunan teletak pada kemampuan, dan kualitas
pekerja. Apabila kemampuan pekerja (tenaga kerja) tinggi maka produktifitas
akan tinggi pula, yang dapat mengakibatkan kesejahteraan meningkat.
Tenaga kerja menduduki posisi yang strategis untuk meningkatkan produktifitas
nasional dan kesejahteraan masyarakat, (Machsoen Ali, 1999 :162 ).
- Bentuk Perlindungan Hukum bagi Pekerja yang di PHK
Sebelum
membahas tentang perlindungan hukum bagi pekerja yang di putus hubungan
kerjanya, perlu dikaji tentang hubungan kerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1
angka 15 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian hubungan kerja yaitu
”Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja,
yang mempunyai unsur pekerjaan,upah dan perintah”.
Hubungan
kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara buruh dan majikan, yaitu
suatu perjanjian dimana pihak kesatu, buruh, mengikatkan diri untuk bekerja
dengan menerima upah pada pihak lainnya, majikan, yang mengikatkan diri untuk
mempekerjakan buruh itu dengan membayar upah. “Pada pihak lainnya” mengandung
arti bahwa pihak buruh dalam melakukan pekerjaan itu berada di bawah pimpinan
pihak majikan. (Iman Soepomo, 1974, hal. 1)
Hubungan
kerja dilakukan oleh subyek hukum. Subyek hukum yang terikat dalam hubungan
kerja ini adalah pengusaha dan pekerja. Pengertian pekerja/buruh berdasarkan
pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu ”Setiap orang yang
bekerja dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain”.
Undang-Undang No.13 Tahun 2003 membedakan pengertian antara pengusaha, pemberi
kerja dan perusahaan. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian
pemberi kerja yaitu ”Orang perseorangan, pengusaha, badan hukum, atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan tenaga kerja dengan membayar upah atau
imbalan dalam bentuk lain.
Pengertian
pengusaha menurut pasal 1 angka 5 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 adalah:
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya;
- Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia.
Berdasarkan
ketentuan pasal 1 angka 6 Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengertian perusahaan
adalah:
- Setiap bentuk usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan, atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara yang mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain;
- Usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Hubungan antara pengusaha dengan pekerja di dalam melaksanakan hubungan
kerja diharapkan harmonis supaya dapat mencapai peningkatan produktifitas dan
kesejahteraan pekerja. Untuk itu, para pengusaha dalam menghadapi
para pekerja hendaknya :
- Menganggap para pekerja sebagai partner yang akan membantunya untuk menyukseskan tujuan usaha;
- Memberikan imbalan yang layak terhadap jasa-jasa yang telah dikerahkan oleh partnernya itu, berupa penghasilan yang layak dan jaminan-jaminan sosial tertentu, agar dengan demikian pekerja tersebut dapat bekerja lebih produktif (berdaya guna); dan
- Menjalin hubungan baik dengan para pekerjanya. (Sunindhia, 1998, hal. 129).
Agar kedua belah pihak dapat
melaksanakan hubungan kerja dengan baik, tanpa adanya tindakan sewenang-wenang
dari salah satu pihak maka diperlukan adanya campur tangan dari pemerintah
dalam bentuk peraturan-perundang-undangan.
Adanya peraturan perundang-undangan ditujukan untuk pengendalian. Baik
pemberi pekerja maupun yang diberi pekerjaan, masing-masing harus terkendali
atau masing-masing harus menundukkan diri pada segala ketentuan dan peraturan
yang berlaku, harus bertanggungjawab dalam melaksanakan kegiatan masing-masing
sesuai dengan tugas dan wewenangnya, hingga keserasian dan keselarasan akan
selalu terwujud. (Kertasapoetra, 1998, hal. 13).
Selama
pelaksanaan hubungan kerja, tidak tertutup kemungkinan terjadi pemutusan
hubungan kerja. Baik yang dilakukan atas inisiatif pengusaha atau atas
inisiatif pekerja. Berdasarkan ketentuan pasal 1 angka 25 Undang-Undang No.13
Tahun 2003 pengertian pemutusan hubungan kerja yaitu ”Pengakhiran hubungan
kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berkhirnya hak dan kewajiban
antara pekerja/buruh dan pengusaha”. Berdasarkan ketentuan pasal 150 UU No. 13
Tahun 2003,
Pemutusan
hubungan kerja meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha
yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan
atau badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha
sosial dan usaha-usaha lainnya yang mempunyai pengurus, dan mempekerjakan orang
lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Pemutusan
hubungan kerja memberikan pengaruh psychologis, ekonomis-finansiil bagi si
pekerja beserta keluarganya dalam mempertahankan kelangsungan hidupnya. PHK
harus diupayakan untuk dicegah.
Pengusaha
dilarang melakukan PHK apabila didasarkan pada alasan-alasan berdasarkan pasal
153 ayat(1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :
- Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12(dua belas) bulan secara terus-menerus;
- Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku;
- Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;
- Pekerja/buruh menikah;
- Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan atau menyusui bayinya;
- Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan pekerja/buruh lainnya di dalam satu perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama;
- Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
- Karena perbedaan paham, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin,kondisi fisik, atau status perkawinan;
- Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dipastikan.
Apabila
PHK tidak dapat dicegah atau dihindari, maka pekerja yang di PHK oleh majikan
sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya PHK akan mendapatkan uang
pesangon, penghargaan masa kerja dan uang ganti kerugian. Kesemuanya itu
dimaksudkan berfungsi sebagai jaminan pendapatan.
Pelaksanaan
pemutusan hubungan kerja berhubungan dengan jaminan pendapatan (income
security) bagi buruh yang kehilangan pekerjaan. Kiranya perlu diciptakan
peraturan yang memuaskan mengenai tata cara pemutusan hubungan kerja dengan
memperhatikan kepentingan pihak pengusaha dan pihak buruh serta mengadakan
penyelesaian yang layak dan patut serta dijiwai oleh nilai-nilai luhur
Pancasila. (Djumialdi, 1987, hal. 88)
Berdasarkan
ketentuan UU No. 13 Tahun 2003, pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja
karena alasan-alasan sebagai berikut :
- Pekerja melakukan kesalahan ringan;
- Pekerja melakukan kesalahan berat;
- Perusahaan tutup karena pailit;
- Force majeur;
- Adanya efisiensi;
- Perubahan status, milik, lokasi dan pekerja menolak;
- Perubahan status, milik, lokasi dan majikan menolak;
- Pekerja sakit berkepanjangan dan mengalami cacat akibat kecelakaan kerja. (Asri Wijayanti, 2003, hal. 63).
Alasan dapat dibenarkan adanya PHK menurut Ridwan Halim dan Sunindhia yaitu :
- Menurutnya hasil produksi yang dapat pula disebabkan oleh beberapa faktor misalnya :
- Merosotnya kapasitas produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya permintaan masyarakat atas hasil produksi perusahaan yang bersangkutan.
- Menurunnya persediaan bahan dasar.
- Tidak lakunya hasil produksi yang lebih dahulu dilemparkan ke pasaran dan sebagainya, yang semua ini secara langsung maupun tidak langsung mengakibatkan kerugian.
- Merosotnya penghasilan perusahaan, yang secara langsung mengakibatkan kerugian pula.
- Merosotnya kemampuan perusahaan tersebut membayar upah atau gaji atau imbalan kerja lain dalam keadaan yang sama dengan sebelumnya.
- Dilaksanakan rasionalisasi atau penyederhanaan yang berarti pengurangan karyawan dalam jumlah besar dalam perusahaan bersangkutan. (Ridwan Halim, 1987, hal. 15)
Alasan
lain yang bersumber dari keadaan yang luar biasa, misalnya :
- Karena keadaan perang yang tidak memungkinkan diteruskannya hubungan kerja;
- Karena bencana alam yang menghancurkan tempat kerja dan sebagainya;
- Karena perusahaan lain yang menjadi penyelenggara pekerjaan yang bersangkutan ternyata tidak mampu lagi meneruskan pengadaan lapangan pekerjaan selama ini ada. Sedangkan perusahaan atau majikan yang secara langsung mempekerjakan para karyawan selama ini hanyalah merupakan kuasa yang bertindak untuk dan atas nama perusahaan yang lain yang menjadi penyelenggara atau pengada lapangan pekerjaan tersebut;
- Karena meninggalnya majikan dan tidak ada ahli waris yang mampu melanjutkan hubungan kerja denga karyawan yang bersangkutan. (Sunindhia, 1998, hal. 23)
Alasan PHK itu di dalam prakteknya
ada yang mengandung cacat yuridis, dalam arti ada hal-hal yang tidak benar di
dalam dasar surat keputusan PHK oleh majikan. (Asri Wijayanti, 2002, hal.8) Pemutusan hubungan kerja yang tidak layak,
antara lain :
a…
Jika antara lain tidak menyebutkan alasannya atau.
- Jika alasannya PHK itu dicari-cari atau alasannya palsu.
- Jika akibat pemberhentian itu adalah lebih berat dari pada keuntungan pemberhentian itu bagi majikan,atau.
- Jika buruh diperhentikan bertentangan dengan ketentuan dalam Undang-Undang atau kebiasaan mengenai susunan staf dan tidak alasan penting untuk tidak memenuhi ketentuan-ketentuan itu. (Sunindhia, 1998, hal. 29).
Apabila
alasan PHK tidak dapat dibenarkan maka akan berakibat PHK itu dapat dibatalkan.
Sanksi atau hukuman bagi pemutusan hubungan kerja yang tidak beralasan yaitu :
- Pemutusan tersebut adalah batal dan pekerja yang bersangkutan harus ditempatkan kembali pada kedudukan semula.
- Pembayaran ganti rugi kepada pekerja tersebut. Dalam hal ini pekerja berhak memilih antara penempatan kembali atau mendapatkan ganti rugi. (Kertosaputro, 1992, hal. 287)
Pada
garis besarnya pemutusan hubungan kerja dapat dibagi dalam empat golongan yaitu
:
- Pemutusan hubungan kerja karena hukum
Jika hubungan kerja yang
diadakan untuk waktu tertentu, dan waktunya tersebut telah habis atau berakhir,
maka pemutusan hubungan kerja dalam hal ini tidak diperlukan ijin. Hal demikian
berarti putus dengan sendirinya, karena hukum.
- Pemutusan hubungan kerja karena keputusan pengadilan
Pemutusan
hubungan kerja oleh Pengadilan ialah pemutusan dengan melalui yang berwenang di
Pengadilan atas permintaan yang bersangkutan, yang berdasarkan alasan-alasan
penting.
- Pemutusan hubungan kerja karena kehendak pekerja
Meliputi
karena alas an mengundurkan diri atau alas an mendesak. Hal ini sesuai dengan
pasal 169 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 yaitu :pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan
sebagai berikut:
- menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;
- membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangan-undangan;
- tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih
- tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh;
- memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau
- memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan dan kesusilaan pekerja/buruh, sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.
Pemutusan hubungan kerja karena kehendak
majikan
- Pemutusan hubungan atas kehendak majikan adalah harus disertai ijin dari P4Daerah atau P4 Pusat selama lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum terbentuk. Kriteria kesalahan berat yang dapat dijadikan dasar oleh majikan dalam memutus hubungan kerjanya dengan pekerja diatur dalam pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003
Hak-hak Bagi Pekerja Yang di PHK
Apabila
PHK tidak dapat dihindari, maka sesuai dengan alasan yang mendasari terjadinya
PHK maka pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon, dan atau uang penghargaan
masa kerja yang disesuaikan dengan masa kerja serta uang penggantian hak.
Ketentuan
uang pesangon berdasarkan pasal 156 ayat (2) Undang-Undang 13 Tahun 2003 yaitu
:
- Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah :
- Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Ketentuan
uang penghargaan masa kerja berdasarkan pasal 156 ayat (3) Undang-Undang No. 13
Tahun 2003 yaitu :
- Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
- Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
- Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
- Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
- Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
- Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
- Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
- Masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Uang
penggantian hak yang seharusnya diterima berdasarkan pasal 156 ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 meliputi :
- Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- Biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana pekerja/buruh diterima bekerja;
- Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja yang memenuhi syarat;
- Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
IV. Bentuk Perlindungan Hukum
bagi Pekerja yang di PHK karena melakukan kesalahan berat
Berdasarkan
ketentuan pasal 158 ayat (1) Undang-Undang No.13 Tahun 2003 pengusaha dapat
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh dengan alasan pekerja/buruh
telah melakukan kesalahan berat sebagai berikut:
- melakukan penipuan, pencurian atau penggelapan barang dan/atau uang milik perusahaan;
- memberikan keterangan palsu atau yang dipalsukan sehingga merugikan perusahaan;
- mabuk,meminum minuman keras yang memabukkan, memakai dan/atau mengedarkan narkotika, psikotropika dan zat aditiktif lainnya di lingkungan kerja;
- melakukan perbuatan asusila atau perbuatan perjudian di lingkungan kerja;
- menyerang, menganiaya, mengancam, atau mengintimidasi teman sekerja atau pengusaha di lingkungan kerja;
- membujuk teman sekerja atau pengusaha untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan;
- dengan ceroboh atau sengaja merusak atau membiarkan dalam keadaan bahaya barang milik milik perusahaan yang menimbulkan kerugian bagi perusahaan;
- dengan ceroboh atau sengaja membiarkan teman sekerja atau pengusaha dalam keadaan bahaya di tempat kerja;
- membongkar atau membocorkan rahasia perusahaan yang seharusnya dirahasiakan kecuali untuk kepentingan negara atau
- melakukan perbuatan lainnya di lingkungan perusahaan yang diancam pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Sebelas
kriteria kesalahan berat yang diatur dalam pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun
2003 itu pada dasarnya dapat disejajarkan dengan delict (perbuatan
melanggar hukum) kejahatan, yang diatur dalam Buku kedua Wetboek van
starfrecht.
Diputuskannya
pekerja telah melakukan kesalahan berat, haruslah didasarkan pada prosedur yang
diatur dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003, yaitu :
- pekerja / buruh tertangkap tangan;
- ada pengakuan dari pekerja/ buruh yang bersangkutan, atau ;
- bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan didukung oleh sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi.
Tiga
syarat yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 harus
bersifat kumulatif, tidak boleh alternatif. Maksudnya adalah kesemua syarat
yang ditetapkan dalam pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu harus ada,
tidak adanya salah satu syarat dari ketiga syarat itu menjadikan putusan
pengusaha / majikan bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat tidak dapat
diterima.
Syarat
pertama yang menyebutkan bahwa pekerja / buruh telah tertangkap tangan
maksudnya adalah pekerja telah dapat dibuktikan bersdasarkan adanya bukti awal
bahwa ia telah melakukan salah satu perbuatan yang telah ditetapkan dalam pasal
158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003. Ada bukti awal yang cukup untuk dinyatakan
bahwa pekerja telah melakukan kesalahan berat.
Syarat
yang kedua yaitu adanya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan bahwa
ia telah melakukan perbuatan yang telah dituduhkan berdasarkan bukti awal pada
saat tertangkap tangan. Pengakuan dari pekerja atau buruh itu dapat dibuat
dalam bentuk lisan maupun bentuk tertulis. Untuk menjamin adanya
kepastian hukum sebaiknya pengakuan dari pekerja / buruh yang bersangkutan dibuat
dalam bentuk tertulis, lebih baik lagi apabila yang membuat adalah pekerja
sendiri (dalam arti tidak dibuatkan oleh personalia sepertia yang terjadi di
dalam praktek). Tentunya pembuatan surat pernyataan pengakuan telah melakukan
salah satu dari perbuatan yang termasuk dalam kriteria kesalahan berat
itu harus dibuat dengan kesadaran sendiri tidak dalam keadaan adanya
paksaan, tekanan, atau tipu muslihat dari pengusaha/ majikan ataupun dari pihak
personalia. Intinya tidak boleh dibuat atas dasar adanya kebohongan.
Syarat
yang ketiga adalah adanya bukti lain berupa laporan kejadian yang dibuat oleh
pihak yang berwenang di perusahaan yang bersangkutan dan di dukung olh
sekurang-kurangnya dua orang saksi. Syarat ketiga ini pada dasarnya
merupakan kelanjutan dari telah dipenuhinya syarat pertama dan syarat kedua.
Syarat ketiga pada hakekatnya memperkuat sayarat pertama dan syarat kedua.
Hal
ini berlainan dengan rumusan dari ketentuan pasal 158 ayat 2 yang dapat
ditafsirkan hanya menentukan ketiga syarat itu sebagai syarat alternatif
dan bukan sebagai syarat kumulatif (garis bawah dari penulis).
Dikatakan secra penafsiran bahwa itu menunjukkan sebagai syarat alteranatif
karena antara pasal 158 ayat (2) b dan pasal 158 ayat (2) c UU No. 13
Tahun 2003 menyebutkan kata atau bukan dan.
Penggunaan
kata dan dengan kata atau dalam konteks bahasa hukum membawa akibat yang
berlainan. Seharusnya redaksional pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu
tertulis dan.
Kekhawatiran
akan terjadinya penyalahgunaan yang akan terjadi di masyarakat dapat
dipahami. Mengingat apabila syarat yang terdapat dalam pasal 158 ayat (2)
UU No. 13 Tahun 2003 dapat hanya dipakai salah satu saja. Misalnya A pekerja di
PT X, pada saat akan pulang dan menjalani check body ( pemeriksaan oleh petugas
keamanan di pintu keluar tempat kerja) kedapatan telah membawa barang milik
perusahaan tanpa alas hak yang dapat dibenarkan. Atas dasar telah terpenuhinya
syarat pertama yaitu pekerja telah tertangkap tangan dengan tanpa diikuti
syarat kedua dan ketiga maka A saat itu juga dapat diPHK secara sepihak.
Misalnya kenyataannya A tidak pernah mengambil barang milik perusahaan. Atau
karena ada orang lain yang sengaja ingin mencelakakan A supaya ia dapat di PHK.
Tidak adan gunanya apabila A bersikeras menolak tuduhan itu. Begitu juga
apabila A tidak pernah mau mengakui bahwa ia telah mencuri apalagi mau membuat
surat pengakuan bahwa ia telah mencuri.
Kekurang
cermatan dalam merumuskan norma hukum tanpa memahami konsep bahasa hukum memang
dapat berpengaruh pada keberlakuan hukum. Apabila dilakukan analisis maka
ketentuan pasal 158 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 itu tidak memenuhi syarat
keberlakuan yuridis dari Bruggink.
Sebagai
bahan telaah dapat diteliti kembali norma hukum PHK yang diatur dalam UU No. 12
Tahun 1964 tentang PHK di perusahaan swasta, yang dengan tegas menetapkan
bahwa PHK termasuk juga PHK karena telah melakukan kesalahan berat harus dengan
izin P4D atau P4P. Hal itu tidak terdapat di dalam ketentuan UU No. 13 Tahun
2003, yang tidak mensyaratkan adanya izin bagi PHK karena pekerja telah
melakukan kesalahan berat.
Apabila
pekerja mengalami PHK karena telah melakukan kesalahan berat maka pekerja
itu mempunyai hak sesuai dengan ketentuan pasal 158 ayat (3) dan ayat (4)
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 yaitu :
Pekerja
/ buruh yang diputus hubungan kerjanya berdasrkan alasan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) dapat memperoleh uang penggantian hak sebagaimana dimaksud dalam
pasal 156 ayat (4)
Bagi
pekerja / buruh sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang tugas dan fungsinya
tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung, selain uang penggantian
hak sesuai dengan ketentuan pasal 156 ayat (4) diberikan uang pisah yang
besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan
atau perjanjian kerja bersama.
Ketentuan
uang pisah memang belum ada peraturan pelaksananya. Dalam hal ini Apindo
(Asosiasi Pengusaha Indonesia) menghimbau agar anggotanya yang terdiri dari
para pengusaha memberikan uang pisah minimal sebesar satu bulan upah. Hal ini
dilakukan dengan tujuan memberikan masukan pada pengusaha untuk segera
merumuskan besarnya uang pisah yang dapat diberikan kepada pekerja bersama
dengan serikat pekerja / buruh. Rumusan kesepakatan tentang besarnya uang pisah
itu dapat dituangkan dalam perjanjian kerja bersama.
Contoh Kasus
A
bekerja di PT X di bagian produksi dengan upah perbulan satu juta. Masa
kerja A bekerja di PT X adalah selama 8 tahun 9 bulan. Akhir bulan lalu A
tertangkap tangan telah mencuri barang milik perusahaan. Akhirnya diputuskan A
harus di PHK karena melakukan kesalahan berat.
Adapun
hak yang diperoleh A dari PT X saat itu adalah uang penggantian hak yang
sesuai dengan Pasal 161 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 dan uang pisah
berdasarkan ketentuan pasal 158 ayat (4) UU No. 13 Tahun 2003.
Dari
ketentuan yang telah ditetapkan oleh perusahaan X, maka A berhak menerima uang
pisah sebesar Rp 1 juta di tambah dengan uang penggantian hak , yaitu
penggantian pengobatan dan perumahan sebesar 15 % x Rp 1 juta = Rp 150.0000.
Jadi A mendapatkan hak karena adanya PHK dengan alasan telah melakukan
kesalahan berat sebesar Rp. 1. 150.000 ditambah penggantian hak lainnya yang
belum diterima (misalnya cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur ;
biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat dimana
pekerja/buruh diterima bekerja ;
Keseluruhan
hak itu tentu saja dapat diberikan oleh pengusaha apabila kesalahan berat yang
dituduhkan kepada pekerja secara formil maupun secara material memang
benar.
V Upaya Hukum Bagi
Pekerja yang di PHK Karena melakukan kesalahan berat.
Apabila
ternyata pekerja tidak mendapatkan haknya sesuai dengan ketentuan pasal 161
ayat (3) UU No. 13 Tahun 2003. Sebelum terbentuknya lembaga penyelesaian
perselisian hubungan Industrial, berdasarkan ketentuan UU No. 2 Tahun 2004
lembaga yang dimaksud adalah Pengadilan hubungan industrial maka dapat
dilakukan upaya administratif atau upaya perdata.
Upaya
hukum melalui upaya administratif, penyelesaiannya dapat melalui: upaya
bipartid yang dilakukan antara pekerja dan pengusaha sebagai pihak yang terikat
dalam hubungan kerja. Apabila perundingan itu berhasil mencapai kesepakatan
maka hasil persetujuan itu mempunyai kekuatan hukum. Tetapi apabila perundingan
tidak mencapai kesepakatan maka dapat minta anjuran ke Dinas Tenaga Kerja
setempat .
Apabila
anjuran dari Dinas Tenaga Kerja tidak diterima oleh salah sat atau kedua belah
pihak maka dapat diajukan ke P4D atau ke P4P. Hal ini dapat diteruskan ke
Menteri Tenaga Kerja guna memohon veto. Veto Menaker didasarkan pada
pertimbangan keamanan dan stabilitas nasional.
Apabila
diantara putusan P4D, atau P4P sudah dapat diterima oleh kedua belah pihak dan
mempunyai kekuatan hukum yang tetap maka dapat dimintakan fiat eksekusi ke
Pengadilan Negeri, supaya putusan itu dapat dijalankan.
Upaya
hukum secara perdata, dapat dilakukan oleh pekerja, apabila putusan pengusaha
dalam menjatuhkan PHK karena efisiensi tidak dapat dibenarkan. Dalam arti belum
dilakukan langkah awal untuk menghindari ehfisiensi jumlah tenaga kerja. Secara
perdata , pekerja dapat mengajukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW yaitu “Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan
kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”.
Sejak
adanya UU No. 2 Tahun 2004 tentang penyelesaian perselisihan hubungan
industrial (PPHI), yang disahkan pada tanggal 4 Januari 2003 (LN. Tahun 2004,
no. 6, TLN. No. 4356) upaya hukum bagi pekerja yang mengalami perselisihan
hubungan industrial akan dilakukan secara bipartid, mediasi, konsiliasi,
arbitarsi atau ke pengadilan hubungan industrial.
Bipartid,
yaitu musyawarah antara pekerja dan pengusaha. Apabila tidak tercapai
kesepakatan dengan cara bipartid maka pihak-pihak dapat memilih penyelesaian
secara mediasi, konsiliasi, atau arbitrasi. Apabila pihak-pihak memilih mediasi
atau konsiliasi dan tidak tercapai kesepakatan, maka dapat membawa perkaranya
ke pengadilan hubungan industrial. Apabila pihak-pihak memilih arbitrasi maka
kesepakatan dituangkan dalam akta perdamaian yang merupakan keputusan arbitrasi
dan harus didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
Apabila
isi keputusan tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak maka dapat dimohonkan
pembatalannya kepada Mahkamah Agung selambat-lambatnya 30 hari kerja sejak
ditetapkannya putusan arbiter . Permohonan pembatalan dilakukan apabila
mengandung unsur-unsur berdasarka ketentuan pasal 52 ayat (1) UU No.2 Tahun
2004 yaitu :
- Surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan dijatuhkan, diakui atau dinyatakan palsu;
- Setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang ebrsifat menentukan, yang disembunyikan oleh pihak lawan;
- Putusan diambil dari tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu pihak dalam pemeriksaan perselisihan;
- Putusan melampaui kekuasaan arbiter hubungan industrial; atau
- Putusan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan
ketentuan pasal 126 UU No. 2 Tahun 2004, masa berlakunya adalah satu tahun
sejak diundangkan. Ketentuan ini diundangkan pada tanggal 14 Januari 2004. Jadi
lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial ini akan menggantiikan
kedudukan P4D atau P4P sejak tanggal 14 Januari 2005.
VI Kesimpulan
Setiap
pekerja/buruh yang di PHK oleh majikan karena melakukan kesalahan beratsesuai
dengan ketentuan pasal 158 ayat (1) UU No. 13 Tahun 2003, harus disertai tiga
syarat secara kumulatif. Syarat itu adalah bukti tertangkap tangan, pengakuan
dari pekerja yang bersangkutan dan laporan pengusaha yang didukung 2 orang
saksi.
Apabila keputusan perusahaan melakukan PHK karena pekerja melakukan kesalahan
berat dibenarkan oleh hukum maka pekerja harus mendapatkan uang penggantian hak
dan uang pisah.
Apabila
hak diatas tidak dapat diperoleh oleh pekerja maka pekerja dapat melakukan
upaya penyelesaian hukum secara sukarela melalui bipatrid atau secara wajib yang
didahului lapor ke pegawai perantara untuk mendapatkan anjuran Depnaker
diteruskan ke P4D, P4P atau Hak Veto Menaker untuk dapat dilakukan fiat
eksekusi di Pengadilan Negeri. Apabila tidak dilaksanakan maka dapat banding ke
PTTUN atau cara lainnya dapat dilakukan gugat ganti rugi ke Pengadilan Negeri
berdasarkan pasal 1365 BW.
Apabila
pengadilan hubungan industrial yang dibentuk berdasarkan UU No. 2 Tahun 2004
sudah terbentu maka upaya hukum dapat dilakukan meliputi upaya bipartid,
mediasi, konsiliasi, arbitrasi atau ke kepadilan hubungan industrial.
DAFTAR BACAAN
Asikin,
Zainal, et.al. 1993, Dasar-dasar hukumperburuhan, Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Asri
Wijayanti, 2002, “ Perlindungan Hukum bagi Buruh yang di PHK di Perusahaan
Swasta”, Prespektif Hukum, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum Universitas Hang
Tuah, vol.2 no. 2.
-------,
2003, Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Diktat Kuliah Hukum
Ketenagakerjaan, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945
Surabaya.
Bruggink,
JJH, alih bahasa Arief Sidharta, 1996, Refleksi tentang hukum, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Djumadi,
1995, Perjanjian Kerja Hukum Perburuhan Perjanjian Kerja, Raja Grafindo
Perkasa, Banjarmasin.
Djumialdji,
FX, dan Soejono, Wiwoho, 1987, Perjanjian Perburuhan dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, PT. Bina Aksara, Jakarta.
Halim,
A Ridwan dan Gultom, Sri Subiandini, 1987, Sari Hukum Perburuhan Aktual,
Pradnya Paramita, Jakarta.
Hartono
Widodo dan Judiantoro, 1992, Segi Hukum Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan, Rajawali Pers, Jakarta.
Iman
Soepomo, 1974, Pengantar HukumPerburuhan, Djambatan, Jakarta.
-------,1994,
Hukum Perburuhan buidang hubungan kerja, Djambatan , Jakarta.
Kartasapoetra,
G, 1992, Hukum Perburuhan di Indonesia Berdasarkan Pancasila, Sinar
Grafindo, Jakarta.
-------,
1983, Hukum Perburuhan Pancasila Bidang Pelaksanaan Hubungan Kerja,
Armico, Bandung.
Kartasapoetra,
G, dan Widianingsih, G, Rience, 1982, Pokok-pokok Hukum Perburuhan,
Armico, Bandung.
Philipus
M Hadjon, 1994, “ Perlindungan hukum dalam negara hukum Pancasila, makalah
disampaikan pada symposium tentang politik, hak asasi dan pembangunan hukum
dalam rangka Dies Natalis XV/ Lustrum VIII, Universitas Airlangga, 3 November
1994
Rajagukguk,
HP., 2000, “Peran serta pekerja dalam pengelolaan perusahaan
(co-determination), makalah disampaikan pada orasi dan panel diskusi
tanggal 20 September 2000, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
Sandjun
H. Manullang, 1995, Pokok-Pokok Hukum Ketenagakerjaan Indonesia, Rineka
Cipta, Jakarta
Sukarno,
1982, Pembaharuan Gerakan Buruh di Indonesia dan Hubungan Perburuhan
Pancasila, Bandung.
Sunindhia, YW, dan Widayanti, Ninik, 1988, Masalah
PHK dan Pemogokan, PT. Bina
Aksara, Jakarta.
Toha,
Halili, dan Pramono, Hari, 1987, Hubungan Kerja Antara Majikan dan Buruh,
PT. Bina Aksara, Jakarta.
Undang-Undang,
No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (LN. Tahun 2003, No. 39, TLN,
No. 4279).
Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial. (LN Tahun 2004 No. 6, TLN No.
4356).
Burgerlijk Wetboek..
Adikusuma, S. 1992, Kamus lengkap populer, Pustaka
Tinta Mas, Surabaya.
Untuk hasil yang lebih jelas dalam bentuk Microsoft Word Silahkan download disini
Untuk hasil yang lebih jelas dalam bentuk Microsoft Word Silahkan download disini
Label:
Hukum Positif
|
0
komentar
Langganan:
Postingan (Atom)
Popular Posts
-
1. Sebutkan dasar hokum a) Kekuasaan Kehakiman? b) Pengadilan Tata Usaha Negara? Jawab: a) Kekuasaan Keh...
-
KANTOR ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM ACHMAD ZAINUDDIN, S.HI., M.HUM. & ASSOCIATES Alamat : Jl. Adi Sucipto No. 007 Yogyakarta ...
-
PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM (PSKH) ACHMAD ZAINUDDIN, S.HI., M.HUM. & ASSOCIATES Alamat : Jl. Adi Sucipto No. 007 Yogyakarta...
-
PEMBAHASAN Pengertian Perceraian Pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut...
-
ANTOR ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM ABDUL JABBAR, SH., M.HUM. & ASSOCIATES Jl. Timoho No. 43 Yogyakarta Telp. 081215532802 ...