Translate

Cara Melanjutkan Baca

cara downlaod File :

1. klik file yang akan di download
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
3. klik unduh
4. lalu tunggu 20 detik mengunduh file tersebut

atau cuma ingin melanjutkan BACA Blog :

1. klik file yang akan di buka
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
http://seputarduniapengetahuan.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.

Pengunjung Saya


free statistics

Pengikut

PopAds.net - The Best Popunder Adnetwork
Sabtu, 26 Januari 2013
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan adalah keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Sedangkan reproduksi menurut Koblinsky adalah kemampuan perempuan hidup dari masa adolescence/ perkawinan tergantung mana yang lebih dahulu, sampai dengan kematian, dengan pilihan reproduktif, harga diri dan proses persalinan yang sukses serta relatife bebas dari penyakit ginekologis dan risikonya. Menurut WHO, kesehatan reproduksi adalah kesehatan yang sempurna baik fisik, mental, sosial dan lingkungan serta bukan sematamata terbebas dari penyakit/kecacatan dalam segala aspek yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya (Melyana, 2005). Dengan adanya pengertian kesehatan reproduksi menurut WHO dan Undang-Undang Kesehatan maka kita harus menjaga segala sesuatu yang berhubungan dengan sistem reproduksi, fungsi serta prosesnya sehingga akan tercipta suatu perilaku seksual yang sehat.
Pemahaman masyarakat tentang seksualitas masih amat kurang sampai saat ini. Kurangnya pemahaman ini amat jelas yaitu dengan adanya berbagai ketidaktahuan yang ada di masyarakat tentang seksualitas yang seharusnya dipahaminya. Sebagian dari masyarakat masih amat percaya pada mitos – mitos yang merupakan salah satu pemahaman yang salah tentang seksual. Pemahaman tentang perilaku seksual remaja merupakan salah satu hal yang penting diketahui sebab masa remaja merupakan masa peralihan dari perilaku seksual anak – anak menjadi perilaku seksual dewasa. Menurut Pangkahila, kurangnya pemahaman tentang perilaku seksual pada masa remaja amat merugikan bagi remaja itu sendiri termasuk keluarganya, sebab pada masa ini remaja mengalami perkembangan yang penting yaitu kognitif, emosi, sosial dan seksual.
Perkembangan ini akan berlangsung mulai sekitar 12 sampai 20 tahun. Kurangnya pemahaman tersebut disebabkan oleh berbagai faktor antara lain : adat istiadat, budaya, agama, dan kurangnya informasi dari sumber yang benar. Hal ini akan mengakibatkan berbagai dampak yang justru amat
merugikan kelompok remaja dan keluarganya (Soetjiningsih, 2004). National Surveys of Family Growth pada tahun 1988 melaporkan bahwa 80% laki – laki dan 70% perempuan melakukan hubungan seksual selama masa pubertas dan 20% dari mereka mempunyai empat atau lebih
pasangan. Ada sekitar 53% perempuan berumur antara 15 – 19 tahun melakukan hubungan seksual pada masa remaja, sedangkan jumlah laki – laki yang melakukan hubungan seksual sebanyak dua kali lipat daripada perempuan. Di Amerika Serikat setiap menit kelompok remaja melahirkan
satu bayi dan 50 % dari mereka melahirkan anaknya dan sisanya tidak melanjutkan kehamilannya. Menurut Craig, kadang – kadang remaja menemui pertentangan dari orang tua yang dapat menimbulkan konflik, namun orang tua dalam melalui proses tersebut berusaha meminimalkan
konflik dan membantu anak remajanya untuk mengembangkan kebebasan berpikirnya dan kebebasan untuk mengatur dirinya sendiri. (Soetjiningsih, 2004).
Masturbasi atau onani merupakan salah satu aktivitas yang sering dilakukan oleh para remaja. Dari laporan penelitian yang dilaporkan oleh SIECUS ( Sex Information and Education Council of the United States ) menunjukkan bahwa 88% remaja laki – laki pada umur 16 tahun melakukan masturbasi dan remaja perempuan sebanyak 62%. Frekuensinya makin meningkat sampai pada masa sesudah pubertas. Mereka mempunyai daya tarik seksual terhadap lawan jenis yang sebaya. Masturbasi ini dilakukan sendiri – sendiri dan juga dilakukan secara mutual dengan teman sebaya
sejenis kelamin, tetapi sebagian dari mereka juga melakukan masturbasi secara mutual dengan pacar (Soetjiningsih, 2004).
Dari Survei Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKRRI) yang dilakukan pada tahun 2002-2003 didapatkan 2,4% atau sekitar 511.336 orang dari 21.264.000 jumlah remaja berusia 15-19 tahun dan 8,6% atau sekitar 1.727.929 orang dari 20.092.200 remaja berusia 20-24 tahun yang belum menikah di Indonesia pernah melakukan hubungan seks pra nikah dan lebih banyak terjadi pada remaja di perkotaan (5,7%). Secara keseluruhan persentase laki-laki berusia 15-24 tahun belum menikah melakukan hubungan seks pra nikah lebih banyak dibandingkan wanita dengan usia yang sama. Menurut hasil Survei BKKBN LDFE UI pada tahun 2002 di Indonesia terjadi 2,4 kasus aborsi per tahun dan sekitar 21 % dilakukan oleh remaja (Widiastuti, 2005).
Penelitian Puslit Ekologi Kesehatan, Badan Litbang Kesehatan, Depkes R.I tahun 1990 terhadap siswa-siswa di Yogyakarta menyebutkan bahwa faktor utama yang mempengaruhi remaja untuk melakukan senggama adalah : membaca buku porno dan menonton film biru / blue film adalah 49,2%. Motivasi utama melakukan senggama adalah suka sama suka (75,6%), kebutuhan biologis 14–18% dan merasa kurang taat pada nilai agama 20–26%. Pusat studi kriminologi Universitas Islam Indonesia di Yogyakarta menemukan 26,35 % dari 846 peristiwa pernikahan telah melakukan hubungan seksual sebelum menikah yang mana 50 % diantaranya menyebabkan kehamilan. Dari berbagai penelitian menunjukkan perilaku seksual pada remaja ini mempunyai korelasi dengan sikap remaja terhadap seksualitas (Soetjiningsih, 2004). 
Berdasarkan hasil studi pendahuluan yang telah dilakukan didapatkan data bahwa dari kelas 1,2 dan kelas 3 SMK Negeri 4 Yogyakarta memiliki remaja akhir (usia 15-20 tahun) 674 siswa, tergolong berperilaku baik akan tetapi ada beberapa remaja yang perilaku seksualnya dapat dikatakan buruk. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor yaitu status ekonomi yang rendah, pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang kurang, pengaruh penyebaran rangsangan seksual (pornografi) melalui media massa seperti VCD, telpon genggam, internet dan lingkungan pergaulan yang buruk sehingga karakter remaja dibentuk oleh lingkungan sekitar. 

II. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 4 September – 14 September 2006. Sedangkan tempat penelitiannya di SMK Negeri 4 Yogyakarta.

B. Populasi dan sample
1. Populasi
Populasi adalah keseluruhan subjek peneliti (Arikunto, 2006). Populasi dalam penelitian ini adalah siswa sebanyak 1.510 di SMK Negeri 4 Yogyakarta. Dari jumlah populasi tersebut diperoleh sample sebanyak 257 siswa, dengan kriteria inklusi remaja yang berusia 14 – 24 tahun dan tercatat aktif sebagai siswa di SMK Negeri 4 Yogyakarta.
2. Sampel
Pengambilan sample dengan berstrata, proporsional dan acak (stratified proportional random sampling dari kelas 1 sebanyak 95 siswa, kelas 2 sebanyak 82 siswa dan kelas 3 sebanyak 80 siswa.

C. Teknik pengumpulan data
Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan cara memberikan kuesioner pada responden. Pengumpulan data di SMK Negeri 4 Yogyakarta dengan meminta kesdiaan siswa untuk mengisi kuesioner.

D. Instrumen penelitian
Indtrumen penelitian yang dunakan dalam peneloitian ini adalah kuesioner tertutup yang disusun secara terstruktur yang berisi pertanyaan – pertannyaan yang harus diisi oleh responden. Kuesioner untuk mengukur
pengetahuan yang berhubungan dengan perilaku tentang kesehatan
reproduksi.

E. Pengolahan dan Analisa data
Langkah-langkah dalam analisis data meliputi :
1. Editing : mengedit kuesioner yang telah diteliti.
2. Coding : memberi kode tertentu untuk setiap pertanyaan.
3. Tabulating : data nilai dikumpulkan dan dikelompokkan secara teliti dan teratur ke dalam tabel.
4. Analiting : pengolahan data dengan menggunakan program SPSS.
 
III. HASIL PENELITIAN
A. Karakteristik Responden
Jumlah responden dalam penelitian ini adalah 90 remaja akhir (usia 15-20 tahun) yang berdomisili di wilayah Kelurahan Keparakan Yogyakarta serta masuk dalam kriteria menjadi responden. Karakteristik responden pada penelitian ini meliputi : jenis kelamin, pendidikan, dan pekerjaan orang tua responden.

Data di atas di atas masih belum lengkap, untuk hasil yang lebih lengkap dan terperinci dalam bentuk PDF, siahkan download disini
Read More..
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Setiap manusia harus dijamin hak asasi manusianya karena hak asasi manusia merupakan hak dasar yang melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai anugerah Tuhan Yang Maha Esa sejak manusia dilahirkan. Setiap manusia sejak ia dilahirkan memiliki kebebasan dan hak untuk diperlakukan sama tanpa diskriminasi apapun. Masalah hak asasi manusia belakangan ini menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan. Hal ini berkaitan dengan semakin menguatnya tuntutan perlindungan hak-hak asasi dari warga masyarakat yang menyangkut berbagai kepentingan mereka. Menguatnya tuntutan akan perlindungan hak asasi manusia itu tidak terlepas dari pengaruh perkembangan global, yaitu dengan munculnya berbagai kesepakatan-kesepakatan internasional yang menjamin perlindungan dan penghormatan terhadap  hak asasi manusia dalam berbagai dimensi. Secara yuridis jaminan hak asasi manusia di Indonesia
telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
Tahun 1945 telah memuat pernyataan-pernyataan dan pengakuan yang menjunjung tinggi harkat
dan martabat serta nilai-nilai kemanusiaan yang sangat luhur dan asasi. Lebih jelas lagi dalam
Pasal 28A sampai 28J Undang-Undang Dasar 1945 hasil amandemen telah memuat jaminan
tentang hak dan kewajiban dalam hak asasi manusia.
Sebagai seorang yang sedang menjalani pidana, bukan berarti narapidana kehilangan semua
hak-haknya sebagai manusia atau bahkan tidak mempunyai hak apapun. Dalam menjalani
pidananya, hak dan kewajiban narapidana telah diatur dalam Sistem Pemasyarakatan, yaitu suatu
sistem pemidanaan baru yang menggantikan sistem kepenjaraan. Pada awal perubahan sistem
tersebut pemasyarakatan belum mempunyai Peraturan Perundang-undangan sebagai dasar hukum
dalam pelaksanaan sistem tersebut. Setelah tiga puluh satu tahun kemudian secara yuridis formal
pemasyarakatan mempunyai Undang-undang sendiri, sesudah disahkannya Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU No. 12 tahun 1995), yang
diundangkan pada tanggal 30 Desember 1995, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
13641.

Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimanakah pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bidang perawatan dan pelayanan
kesehatan di Lapas Klas IIA Manado dalam upaya perwujudan perlindungan hak asasi
manusia?
2. Hambatan atau kendala apakah yang mempengaruhi pelaksanaan hak-hak narapidana dalam
bidang perawatan dan pelayanan kesehatan di Lapas Klas IIA Manado?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian adalah untuk :
1. Untuk mengetahui dan menjelaskan bagaimana pelaksanaan dan pemenuhan hak-hak normatif
narapidana di bidang pelayanan kesehatan pada Lapas Klas IIA Manado dalam upaya
perwujudan perlindungan hak asasi manusia.
2. Untuk mengetahui hambatan atau kendala yang berpengaruh terhadap pelaksanaan dan
pemenuhan hak-hak normatif narapidana di bidang pelayanan kesehatan pada Lapas Klas IIA
Manado serta penyebab kurang terpenuhinya hak-hak naapidana.

TINJAUAN PUSTAKA
Dalam peraturan standar minimum bagi perlakuan terhadap narapidana yang disepakati oleh
kongres pertama PBB di Jenewa tahun 1955 dan disetujui oleh Dewan Ekonomi dan Sosial dengan
resolusinya tanggal 31 Juli 1975 dan tanggal 13 Mei 1977 menyebutkan bahwa pelayanan
narapidana adalah perlakuan terhadap orang-orang yang dihukum di penjara atau tindakan yang
serupa tujuannya haruslah sejauh mana hukumnya mengiizinkan, untuk menumbuhkan di dalam
diri mereka kemauan untuk menjalani hidup mematuhi hukum serta memenuhi kebutuhan diri
sendiri setelah bebas.
Pelayanan narapidana pada intinya adalah pelayanan yang berkaitan dengan pelaksanaan
hak-hak dan kewajiban narapidana berupa perawatan, pembinaan, pendidikan dan bimbingan.
Lembaga Pemasyarakatan merupakan bagian dari sistem peradilan pidana yang tidak dapat
dilepaskan dari tugas dan fungsionalnya sebagai penegak hukum. Fungsi Lembaga
Pemasyarakatan sebagai penegak hukum sangat ditentukan dengan pelayanannya.
Adapun bentuk-bentuk pelayanan kesehatan di lembaga pemasyarakatan adalah :
1. Pelayanan Umum. Pelayanan umum adalah pelayanan kesehatan yang diberikan kepada
narapidana sebagaimana biasanya sesuai dengan program pelayanan kesehatan yang telah
ditetapkan di Lapas. Dalam rangka kelancaran pelaksanaan program pelayanan kesehatan di Lapas
tersebut, diperlukan tersedianya : Ketenagaan, Peralatan, Tempat/ruang pelayanan kesehatan, Obatobatan, Ruang lingkup pelayanan.
minimal secara memadai bagi masyarakat merupakan hal yang signifikan karena berkaitan dengan hak-hak konstitusional perorangan maupun kelompok
masyarakat yang harus mereka peroleh dan wajib dipenuhi oleh pemerintah, berupa tersedianya
pelayanan yang harus dilaksanakan pemerintah kepada masyarakat. Dengan dikeluarkannya surat
edaran Menteri Dalam Negeri Nomor . 100I7S7|OTDA dan Penggunaan standar pelayanan minimal
agar masing-masing institusi pemerintah memiliki kesamaan persepsi dan pemahaman serta tindak
lanjut dalam penyelenggaraan standar pelayanan minimal. Dalam surat edaran Menteri Dalam
Negeri Nomor 1OOl757IOTDA tanggal 8 Juli 2002, dirumuskan bahwa standar pelayanan minimal
adalah tolak ukur untuk mengukur kinerja penyelenggaraan kewenangan wajib daerah yang
berkaitan dengan pelayanan dasar kepada masyarakat. Standar pelayanan minimal harus mampu
menjalin terwujudnya hak-hak individu serta menjamin akses masyarakat mendapat pelayanan dasar
dari pemerintah daerah sesuai patokan dan ukuran yang ditetapkan oleh pemerintah.
Dalam rangka kelancaran pelaksanaan program pelayanan kesehatan di Lapas, maka melalui
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pemasyarakatan Nomor : E.03.PP.02.10 tahun 2003 telah
ditetapkan standar pelayanan minimal pelayanan kesehatan dan makanan narapidana di Lapas
sebagai berikut :
1. Secara melembaga pelayanan kesehatan yang ada masih dalam taraf sederhana yaitu
pelayanan dokter dan klinik yang sifatnya pertolongan pertama.
2. Rujukan penderita dilakukan secara seadanya, tergantung kondisi pada masing-masing
Lapas.
3. Bentuk-bentuk pelayanan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dilakukan secara
sistimatis.
Hak Narapidana Di Bidang Pelayanan Kesehatan
Undang-undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 4 menyebutkan antara
lain : Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kebebasan pribadi, pikiran dan hati nurani, hak
beragama, hak untuk diakui sebagai pribadi dan persamaan dihadapan hukum.
Hak-hak narapidana diatur dalam Pasal 14 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang
Pemasyarakatan. Hak-hak narapidana secara garis besar dapat dibagi menjadi 2, yaitu :
1. Hak-hak umum, yang secara langsung dapat diberikan kepada narapidana di Lapas tanpa syaratsyarat
tertentu yang bersifat khusus.
2. Hak-hak khusus, yang hanya diberikan kepada narapidana di Lapas yang telah memenuhi
persyaratan tertentu yang bersifat khusus yakni persyaratan substantif dan administratif.
Adapun hak-hak yang bersifat umum tersebut adalah :
• Hak melakukan ibadah.
• Hak mendapatkan perawatan rohani dan jasmani.
• Hak mendapatkan pendidikan dan pengajaran.
• Hak mendapatkan pelayanan kesehatan dan makanan yang layak.
• Hak menyampaikan keluhan.
• Hak mendapatkan bahan bacaan dan siaran media massa.
• Hak mendapatkan upah atau premi atas pekerjaan yang dilakukan.
• Hak menerima kunjungan keluarga, penasehat hukum atau orang tertentu.
Hak-hak khusus, adalah :
• Hak mendapatkan pengurangan masa pidana atau remisi.
• Hak mendapatkan kesempatan mendapakan assimilasi termasuk cuti mengunjungi keluarga.
• Hak mendapatkan pembebasan bersyarat.
• Hak mendapatkan cuti menjelang bebas.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Pemasyarakatan di
wilayah Sulawesi Utara, yaitu Lapas Klas IIA Manado, dengan pertimbangan bahwa Lapas
tersebut merupakan Lapas terbesar yang ada di provinsi tersebut. Selain itu penghuni Lapas
tersebut seluruhnya berstatus narapidana dan tidak terdapat tahanan di dalamnya. Dengan demikian
diharapkan dari Lapas tersebut akan diperoleh informasi yang cukup representative mengenai
pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bidang pelayanan kesehatan.
Analisis Data.

Data yang diperoleh dalam penelitian dianalisa secara deskriptif kualitatif. Analisa kualitatif
di maksudkan untuk mendeskripsikan pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bidang pelayanan
kesehatan di Lapas Klas IIA Manado dalam upaya perwujudan perlindungan hak asasi manusia,
faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan hak-hak narapidana dalam bidang pelayanan
kesehatan di Lapas Klas IIA Manado, dan upaya-upaya yang dilakukan oleh petugas Lapas Klas
IIA Manado terhadap narapidana dalam perlindungan hak asasi manusia.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pelaksanaan Hak Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Klas Iia Manado
Pelaksanaan pelayanan kesehatan di Lembaga Pemasyarakatan Manado berpedoman dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain:
1. Undang-undang No.39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
2. Undang-undang No.1 tahun 1946 tentang KUHP
3. Undang-undang No. 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan
4. Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Hak-hak Narapidana
5. Peraturan Pemerintah No. 27 tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP
6. Peraturan Pemerintah No. 58 tahun 1999 tentang syarat-syarat dan Tata Cara Pelaksanaan
Wewenang, Tugas dan Tanggung Jawab Perawatan Tahanan
7. Peraturan Pemerintah Kehakiman RI No. M.04.UM.01.06 tahun 1983 tanggal 29 Desember
tentang tata cara penempatan, Perawatan Tahanan dan Tata Tertib Rumah Tahanan Negara.
8. Keputusan Menteri Kehakiman No. M.02-PK.04.10 tahun 1990 tanggal 10 April tentang Pola
Pembinaan .
Penghuni Lapas sebagai salah satu komunitas kecil dari masyarakat termarginal, patut
mendapat perhatian. Perlakuan terhadap orang-orang yang ditahan/dipenjara seharusnya tidak
ditekankan pada pemisahan mereka dari masyarakat, akan tetapi dengan meneruskan peran mereka
sebagai bagian masyarakat. Petugas pemasyarakatan seharusnya dapat memberikan pelayanan
yang sesuai dengan hukum dan hukuman dengan memberikan pelayanan yang semaksimal
mungkin untuk melindungi hak-hak yang bertalian dengan kepentingan narapidana.
Perlakuan terhadap narapidana dengan memberikan pelayanan sejauh mana hukumnya
mengizinkan, sehingga dapat menumbuhkan di dalam diri mereka kemauan untuk menjalani hidup
mematuhi kebutuhan diri sendiri setelah kelak mereka bebas. Apabila petugas pemasyarakatan
dapat memberikan pelayanan relative berdedikasi serta adanya rasa ingin berbuat baik, dengan
integritas yang baik, maka pemberian pelayanan terhadap narapidana akan dapat menumbuhkan sikap yang lebih responsif terhadap kebutuhan-kebutuhan mereka sehingga dapat memberikan
perlindungan hak-hak narapidana.
Pelaksanaan Hak Narapidana Untuk Mendapatkan Pengobatan
Terkait dengan pelaksanaan hak mendapatkan pengobatan di Lapas Klas IIA Manado masih
mengalami kendala dari segi mendapatkan pengobatan, diakibatkan karena masih kurangnya
pengadaan dan penyediaan obat-obatan serta tenaga petugas kesehatan yang minim, namun
pemenuhan hak narapidana untuk mendapatkan obat-obatan tetap dilakukan sesuai kondisi
anggaran yang telah ditentukan melalui DIPA Lembaga Pemasyarakatan.
Bilamana fasilitas rumah sakit tersedia di dalam suatu lembaga, maka peralatan, perabot dan
pasokan obat-obatan harus mencukupi untuk melakukan perawatan medis dan merawat narapidana
yang sakit, dan harus disediakan staf terlatih yang sesuai. Layanan kesehatan gigi juga harus
tersedia untuk semua narapidana. Petugas kesehatan harus merawat kesehatan jasmani narapidana
dan harus mengunjungi semua narapidana yang sakit setiap hari dan narapidana yang mengeluh
sakit. Narapidana yang diduga terkena penyakit infeksi atau menular berhak mendapatkan
pemisahan tempat dari narapidana lainnya dan berhak mendapatkan pengobatan yang intensif.
Dalam halnya pemeriksaan kesehatan narapidana sudah dilakukan sejak pertama kali
narapidana masuk ke Lapas. Masing-masing narapidana diberikan kartu berobat sebagai catatan
kontrol kesehatannya. Jadwal praktek dokter di Lapas ini setiap hari Pukul 09.00 Wita sampai
Pukul 12.00 Wita.
Hasil pengamatan penulis di lapangan, masih terdapat beberapa kekurangan dalam
pemenuhan hak ini, yaitu penyediaan obat-obatan yang terbatas serta peralatan medis belum
memadai dan peralatan yang ada kurang terawat dengan baik. Selain itu, jadwal pemeriksaan yang
ditentukan dan jadwal berobat dibatasi menjadi lebih singkat.
Dari jawaban responden menyangkut pelaksanaan hak untuk mendapatkan pelayanan
pengobatan di Lapas Klas IIA Manado, dimana sebanyak 4 orang atau prosentase sekitar 13
mengatakan bahwa pelayanan sudah baik, kemudian disusul dengan jawaban responden sudah
cukup baik dengan jumlah 10 orang responden atau prosentase sekitar 34.
Sedangkan sebanyak 16 orang responden atau prosentase sekitar 53 mengatakan bahwa
pelaksanaan hak untuk mendapatkan pengobatan di Lembaga Pemasyarakatan Klas IIA Manado
masih kurang baik. Hal ini diakibatkan banyak hal antara lainya adalah obat-obatan yang tersedia
terbatas akibat dana yang kurang mencukupi. Dalam hal pemberian obat-obatan karena tidak
memadainya persediaan obat-obatan, maka pemberian obat-obatan kepada narapidana yang datang
dengan keluhan sakit tidaklah diberikan pengobatan yang maksimal sesuai dengan pengobatan
yang diperlukan atau sesuai dengan indikasi spesifik dari penyakitnya, sehingga yang terjadi
adalah kesembuhan yang diharapkan terjadi tidak dapat dicapai dengan maksimal.
Disamping itu juga disebabkan karena jumlah petugas kesehatan baik tenaga medis maupun
paramedis yang masih minim sehingga waktu untuk melayani narapidana yang sakit terbatas.
Pelaksanaan Hak Mendapatkan Sarana dan Prasarana Pelayanan Khusus Narapidana
Dengan Penyakit Tertentu
Narapidana yang menderita penyakit kronis, dan penyakit khusus seperti TBC, HIV/AIDS
dan penyakit menular lainya harus mendapatkan pelayanan yang ekstra dan dilayani oleh petugas
kesehatan Lapas. Mereka sangat membutuhkan pelayanan kesehatan secara intensif dan penuh
dengan keseriusan serta perhatian khusus.
Menurut aturan yang berlaku bahwa narapidana yang sakit dengan penyakit khusus yang
dideritanya memerlukan perawatan dokter spesialis dan dapat dipindahkan ke lembaga khusus atau
rumah sakit umum. Hak mendapatkan sarana dan prasarana pelayanan khusus antara lain tiap
naparapidana mendapatkan ruangan tersendiri, mendapatkan rujukan berobat ke rumah sakit lain
sesuai dengan jenis penyakit yang dideritanya, menghuni ruangan sel yang tidak bisa digabungkan
dengan narapidana lain serta mendapat perlakuan perawatan yang kontinyu, dan
berkesinambungan.
Terkait dengan pelaksanaan hak mendapatkan sarana dan prasarana pelayanan khusus
narapidana dengan penyakit tertentu seperti penyakit HIV/AIDS, TBC serta penyakit menular
lainnya dianggap masih sangat kurang optimal disebabkan karena kurang adanya koordinasi
dengan instansi terkait misalnya Dinas Kesehatan, Rumah Sakit terkait dan koordinasi dengan
Dokter Ahli. Disamping itu pula tenaga kesehatan yang ada di Lapas Klas IIA Manado masih
minim serta biaya operasioanal dalam hal pengadaan obat-obatan yang kurang.
Dari jawaban responden pada tabel 9 di atas menunjukan bahwa jawaban responden
menyangkut pemenuhan pelaksanaan hak mendapatkan sarana dan prasarana pelayanan khusus
bagi narapidana dengan penyakit tertentu terlihat bahwa sebanyak 7 orang responden atau
prosentase sekitar 23 mengatakan sudah baik dilakukan oleh petugas kesehatan yang ada dalam
Lapas Klas IIA Manado, sedangkan sebanyak 10 orang atau prosentase sekitar 33 menngatakan
sudah cukup baik, sedangkan sebanyak 30 orang atau prosentase sekitar 44 mengatakan kurang
baik. Hal ini disebabkan karena kurangnya koordinasi dan komunikasi antar instansi terkait dan
minimnya dokter ahli yang bersedia menangani para narapidana yang menderita penyakit khusus
dan penyakit menular ditambah lagi sarana poliklinik dan penyediaan obat-obatan yang kurang,
serta tenaga petugas kesehatan Lapas Klas IIA Manado yang sedikit.
Faktor Penghambat Pelaksanaan Pelayanan Kesehatan dan Perawatan Narapidana
Fasilitas, kualitas dan kuantitas petugas merupakan faktor penghambat terhadap pelaksanaan
pelayanan kesehatan narapidana. Oleh karena itu pembenahan terhadap Lapas haruslah didukung
oleh peningkatan kualitas dan kemampuan aparatnya yang diarahkan untuk lebih professional,
memiliki intergritas, kepribadian sebagai panutan dan moral yang tinggi. Untuk menciptakan
aparat hukum yang memiliki intergritas, kemampuan tinggi serta professional dibidangnya, perlu
dilakukan perbaikan-perbaikan.

Keterangan di atas masih belum lengkap, untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk PDF, silahkan download disini
Read More..
BAB I
PENDAHULUAN

Dalam bidang kesehatan masyarakat, para ahli senantiasa memusatkan perhatian pada masalah-masalah kesehatan yang menyangkut orang banyak. Di masa lampau wabah penyakit dan bencana alam silih berganti mengancam kehidupan umat manusia, namun berkat kemajuan ilmu kedokteran, dewasa ini banyak diantara wabah penyakit tersebut telah dapat dikendalikan (11).
Pada umumnya negara maju dapat menikmati taraf kesehatan rata-rata lebih baik, akan tetapi negara yang sedang berkembang masih berjuang untuk mendapatkan pemerataan kesehatan. Dalam suasana demikian ini kita dihadapkan pada kenyataan bahwa ada satu jenis penyakit yang dapat berjangkit dengan cepat tanpa memandang bulu baik dinegara maju maupun dinegara sedang berkembang, yakni penyakit AIDS.
Dewasa ini, Acquired Immune Deficiency (AIDS) merupakan salah satu masalah kesehatan yang perlu mendapat perhatian dunia. WHO meramalkan bahwa jumlah penderita AIDS dan kematian akibat AIDS seluruh dunia akan meningkat 10 persen dalam waktu 8 tahun mendatang, yaitu dari satu setengah juta saat ini menjadi 12-18 juta pada tahun 2000 (4,5,6,7,8). Penyakit ini memang mempunyai angka kematian yang tinggi dimana hampir semua penderita AIDS meninggal dalam waktu lima tahun sesudah menunjukkan gejala pertama AIDS (Depkes 1988) (5).
Di Indonesia, kasus AIDS yang pertama kali dilaporkan adalah seorang wisatawan laki-laki berkebangsaan Belanda yang meninggal di Bali pada tahun 1987. Kasus kedua juga orang asing sedangkan kasus berikutnya terjadi pada seorang pria Indonesia yang juga meninggal di Bali (1,2). Sejak itu, jumlah penderita AIDS terus meningkat. Hal ini terlihat dalam data kumulatif Depkes RI dari 15 Propinsi dimana sampai bulan Maret 1995 kasus AIDS sudah mencapai 288 orang (7,9). Di propinsi Sumatera Utara dilaporkan adanya dua kasus yang menderita HIV positif dan kemungkinan kasus ini akan bertambah banyak.
AIDS merupakan penyakit yang fatal, menular dan sampai sekarang belum ada obatnya. Penderita AIDS tetap menularkan penyakit sepanjang hidupnya dan biasanya HIV menyerang usia produktif. Masalah AIDS menjadi lebih berat lagi karena pada kasus seropositif, penderita biasanya merasa sehat dan dari penampilan luar juga tampak sehat namun merupakan pembawa virus yang asimtomatik dan dapat menularkan HIV kepada orang lain (12).
Sebagaimana diketahui bahwa penularan HIV/AIDS dapat terjadi melalui hubungan seksual, pemakaian jarum suntik secara bergantian, tranfusi darah serta oleh ibu yang terinfeksi kepada bayi yang dikandungnya (2,4,5,6). Yang perlu diperhatikan bahwa seorang pengidap HIV dapat tampak sehat tetapi potensial sebagai sumber penularan seumur hidup (1).
Ketakutan terkena infeksi AIDS telah melanda semua orang termasuk dokter gigi sebagai salah seorang tenaga kesehatan oleh karena dalam prakteknya mereka selalu berkontak dengan saliva dan darah. Cara penularannya dapat berupa infeksi silang antara pasien ke pasien melalui alat-alat tercemar (6). Dibidang kedokteran gigi, tindakan perawatan yang beresiko penularan antara lain berupa pencabutan gigi, pembersihan karang gigi, pengesahan gigi terutama didaerah servikal, insisi serta tindakan lain yang dapat menimbulkan luka. Walaupun kemungkinan kecil, tetapi mempunyai resiko yang pasti (6,8). Atas dasar itulah Oral Health Department WHO menghimbau para dokter gigi di seluruh dunia agr melakukan tindakan pencegahan untuk melindungi pasien maupun dirinya sendiri (6).
Di Amerika Serikat dilaporkan 2 orang penderita tertular HIV dipraktek dokter gigi serta diperoleh bukti bahwa mereka tertular ditempat praktek dokter gigi yang tidak melakukan tindakan pencegahan secara ideal (FDI, 1991). Apabila di negara maju masih terdapat hal semacam itu, maka dapat diasumsikan bahwa di negara berkembang seperti Indonesia tindakan pencegahan masih belum memadai.
Perkembangan AIDS sejauh ini telah memberikan banyak perubahan dalam mutu pelayanan kesehatan, bukan saja karena penyakit ini merupakan penyakit baru tetapi juga merupakan penyakit yang telah memakan banyak porsi dana kesehatan. Hal ini merupakan suatu tantangan bagi tenaga kesehatan untuk mempersiapkan diri dan agar dapat menciptakan sistem perawatan yang semakin baik (6).
BAB 2
ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY SYNDROME (AIDS)

AIDS atau Acquired Immune Deficiency Syndrome, diterjemahkan secara bebas sebagai sekumpulan gejala penyakit yang menunjukkan kelemahan atau kerusakan yang didapat dari faktor luar dan bukan bawaan yang sejak lahir. Jadi, sebenarnya AIDS merupakan kumpulan gejala-gejala penyakit infeksi atau keganasan tertentu yang timbul sebagai akibat menurunnya daya tahan tubuh atau kekebalan penderita (12).
2.1. Sejarah AIDS dan Perkembangannya
Sindrome ini pertama sekali dilaporkan oleh Michael Gottlieb pada pertengahan tahun 1981 pada penderita pria homoseksual dan pecandu narkotik suntik di Los Angeles, Amerika Serikat. Sejak penemuan pertama inilah, dalam beberapa tahun dilaporkan lagi sejumlah penderita dengan sindrome yang sama dari 46 negara bagian Amerika Serikat lainnya (2).
Cepatnya penyebaran AIDS ini keberbagai benua, serta dampak yang terlihat pada penderita beserta keluarganya, disamping belum diketahuinya cara penanganan dan pengobatannya menyebabkan keresahan psikososial yang sangat besar dikalangan masyarakat dimana kasus AIDS banyak terjadi.
Pada tahun-tahun pertama ditemukannya penyakit ini belum diketahui bahwa agennya adalah retrovirus, namun diperkirakan bahwa penyebabnya adalah agen yang dapat menular. Baru pada akhir tahun 1983, para peneliti menemukan satu jenis retrovirus yang mulanya diberi nama Lympadenopati associated virus, dan pada bulan Mei tahun 1986 disepakati menggunakan satu nama saja yaitu Human Immunodeficiency Virus (HIV) (5,12,14,22.24,25).
2.2. Epidemiologi AIDS
Di Amerika Serikat, pengumpulan data epidimiologi dilakukan oleh Centres for Disease Control (CDC) yang berasal dari daerah epidemi mulai tahun 1991, ditemukan bahwa mayoritas penderita AIDS dewasa dilaporkan kaum homoseksual/biseksual adalah 59%, pengguna obat secara intravena 22% dan laki-laki homoseksual yang menggunakan obat secara intravena 7%. Pasangan seksual dari ibu yang terinfeksi HIV ternyata seropositif terhadap HIV. Pasien hemofilia dan penerima tranfusi darah merupakan kelompok terkecil dan jumlahnya terus berkurang sejak dilakukan screening terhadap donor yang terkontaminasi HIV yang dilaksanakan sejak tahun 1985.
Secara umum dapat dipercaya bahwa kebanyakan penderita infeksi HIV akan menjadi penderita AIDS. Walaupun waktu terinfeksi HIV dengan diagnosa AIDS bervariasi, hasil penelitian melaporkan bahwa periode inkubasi sekitar 5-10. Dengan ditemukannya obat seperti zidovidume, yang juga dikenal sebagai azidothymidine (AZT), ternyata bahwa dapat memperpanjang masa inkubasi. Diperkirakan angka kematian 90% selama 3 tahun dengan diagnosa AIDS.
2.3. Patogenesis
HIV secara selektif akan menginfeksi sel yang berperan membentuk zat anti pada sistem immunitas selluler yaitu sel limfosit T4. Limfosit T4 menjadi sasaran dari virus ini karena sel tersebut mempunyai CD4 antigen pada membrannya, yang dapat berperan sebagai reseptor untuk virus tersebut. Selain sel limfosit T4 yang yang menjadi sasaran HIV, terbukti kemudian adalah sel lain yang juga mempunyai CD4 antigen pada membrannya sehingga menjadi target dari HIV. Sel lain tersebut adalah sel monosit-makrofag, dan beberapa sel hemopoesis di dalam sum-sum tulang (8).
HIV sebagai virus RNA mempunyai enzim reverse transcriptase dimana pada kejadian infeksi mampu membentuk virus DNA. Virus DNA yang terbentuk ini masuk kedalam inti sel target dan berintergrasi dengan DNA dari host dan menjadi provirus (DNA Provirus). DNA provirus yang telah berintergrasi dengan sel DNA dari host (sel limfosit T4) akan ikut mengalami replikasi pada setiap terjadi proliferasi sel. Setiap hasil replikasi DNA ini selanjutnya akan menghasilkan virus RNA, enzim reverse transcriptase dan protein virus. Demikian peristiwa infeksi HIV ini berlangsung (4,14,15).
2.4. Gambaran Penyakit
Secara klinis gambaran penyakit yang diakibatkan oleh infeksi HIV ini dapat terlihat dalam 4 tahap berurutan. Tahap-tahap ini sangat berkolerasi dengan gambaran laboratorium akibat perubahan fungsi imunitas dan aktivitas virus.
1. Tahap pertama, tahap infeksi primer (primary infection)
Tahap ini terlihat setelah beberapa minggu terpapar HIV, ditandai dengan gejala demam, sakit tenggorokan, lesu dan lemas, sakit kepala, fotofobia, limpadenopati serta berecak makulopapular. Tahap ini biasanya berlangsung sekitar satu atau dua minggu lebih dan ditemukan pada hampir 70% peristiwa infeksi HIV.
2. Tahap kedua, tahap infeksi dini (early infection)
Tahap ini merupakan nama laten virus yang dapat berlangsung selama beberapa bulan sampai beberapa tahun. Umumnya penderita asimtomatik kecuali beberapa diantaranya dengan limpadenopati umum.
3. Tahap ketiga, tahap infeksi menengah (middle infection)
Tahap ini itandai dengan munculnya kembali antigen HIV serta penurunan sel limfosit T sehinngga penderita menjadi sangat rentan terhadap berbagai kondisi dan infeksi. Kandiasis di mulut dan oral hairy leukoplakia serinng terlihat pada tahap ini.
4. Tahap keempat, tahap sakit HIV berat (severe HIV disease)
Tahap ini ditandai dengan timbulnya infeksi oportunistik dan neoplasma yang menyebabkan keadaan sakit berat dengan angka kematian yang tinggi. Tahap inilah yang disebut AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome)
Pengalaman menunjukkan bahwa resiko masuknya ketahap sakit HIV berat atau AIDS meningkat sejalan dengan lamanya infeksi. Dalam keadaan penderita tidak mendapatkan pengobatan terhadap retrovirusnya, sekitar 50% penderita HIV ini sampai ketahap AIDS kira-kira sesudah 10 tahun.
2.5. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium sangat besar perananya dalam menetapkan diagnosis dan gambaran perjalanan penyakit serta dalam menentukan tindakan pengobatan, karenadalam banyak hal tidak dapat memberi petunjuk terhadap perkembangan penyakit khususnya padamasa asintomatik laten (20).
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan antigen atau antibody terhadap HIV didalam darah. Untuk itu digunakan pemeriksaan dengan tes Elisa (Enzim linked immunosorbent assay) sebagai pemeriksaan penyaring, yang apabila positif lebih lanjut dikonfirmasikan dengan pemeriksaan Westren Immunoblot (WB) (12, 14,18,25). Baru-baru ini diperkenalkan dengan satu cara pemeriksaan yang lebih akurat yaitu tes PCR atau Polymerase Chain Reactions.
2.6. Cara Penularan
AIDS adalah merupakan penyakit yang fatal dan menular. Jalan utama untuk tranmisi HIV adalah kontak seksual (homoseksual atau heteroseksual) tranmisi jarum suntik dan alat kesehatan lain, tranmisi perinatal (dari ibu ke anak dalam persalinan), tranmisi darah dan produk darah serta tranmisi dalam pelayanan kesehatan yaitu pada pekerja rumah sakit yang berkontak dengan darah atau cairan tubuh pasien dengan infeksi HIV (4,5,8,10,14,15,25).
Sekalipun penyelidikan secara epidemologi menunjukkan bahwa darah dan semen merupakan jalur penularan utama virus AIDS, telah dilaporkan bahwa HIV juga ditemukan dalam saliva, air mata, air susu ibu dan urin (8,10). Penularan melalui saliva sampai saat ini memang diragukan karena jumlah virus dalam saliva amat kecil sehingga tidak potensial untuk penularan. Hasil beberapa penyelidikan menunjukkan bahwa sebenarnya saliva dapat menghambat virus HIV agar tidak menginfeksi limfosit manusia disamping fungsi saliva sendiri sebagai pelindung karena mengandung sejumlah protein saliva. Resiko penularan dalam tindakan kedokteran diperkirakan melalui saliva yang tercampur darah karena luka yang timbul dalam perawatan (24).
Disamping perawatan gigimemungkinkan terjadinya pendarahan, penggunaan hanplece berkecepatan tinggi, alat ultrasonic dan adanya kontak dengan sejumlah besar pasien juga memungkinkan terjadinya infeksi dan kontaminasi bagi dokter gigi sangat besar (24). Prosedur perawatan yang berakibat terjadinnya pendarahan adalah pencabutan gigi, pembedahan, perawatan periodontal, pembersihan karang gigi dan lain-lain. Pada dasarnya, instrumen yang menembus jaringan lunak atau yang akan menyebabkan pendarahan atau kontak dengan selaput lendir yang utuh seperti jarum suntik, jarum endodontik, tang ekstaksi merupakan instrumen yang tergolong beresiko tinggi (8).Hingga saat ini belum terbukti bahwa AIDS dapat ditularkan oleh gigitan serangga, minuman, makanan atau kontak biasa dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum atau tempat kerja dengan penderita AIDS (5).
BAB 3
GEJALA KLINIS DAN MANIFESTASI AIDS DIRONGGA MULUT

3.1. Gejala Klinis AIDS
AIDS mempunyai spectrum yang luas pada gambaran klinis. Pada awal permulaan terdapat gejala-gejala seperti terkena flu. Penderita merasa lelah yang berkepanjangan dan tanpa sebab, kelenjar-kelenjar getah bening dileher, ketiak, pangkal paha membengkak selama berbulan bulan, nafsu makan menurun/hilang, demam yang terus menerus mencapai 39 derajat Celcius atau berkeringat pada malam hari, diarrhea, berat badan turun tampa sebab, luka-luka hitam pada kulit atau selaput lendir yang tidak bias ssembuh, batuk-batuk yang berkepanjangan dan dalam kerongkongan, mudah memar atau pendarahan tanpa sebab. Gejala-gejala awal ini sering disebut AIDS Related Complex (ARC). Bila keadaan penyakit ini meningkat, penyakit ganas lain berkembang seperti: radang paru (penumocytis carinii), kandiasis oesophagus, cytomegalovirus atau herpes, sarcoma kaposi, tumor ganas pembuluh darah (3,19,23).
3.2. Manifestasi AIDS dirongga mulut
Sekitar 95% penderita AIDS mengalami manifestasi pada daerah kepala dan leher sebagaimana juga menurut Shiod dan Pinborg 1987. Manifestasi di mulut seringkali merupakan tanda awal infesi HIV (16).
3.2.1 Infeksi karena jamur (Oral Candidiasis)
Kandiasi nulut sejauh ini merupakan tanda di dalam mulut yang paling sering dijumpai baik pada penderita AIDS maupun AIDS related complex (ARC) dan merupakan tanda dari manifestasi klinis pada penderita kelompok resiko tinggipada lebih 59% kasus.
Kandiasis mulut pada penderita AIDs dapat terlihat berupa oral thrush, acute atrophic candidiasis, chronic hyperplastic candidiasis, dan stomatis angularis (Perleche).
3.2.2 Infeksi karena virus
Infeksi karena virus golongan herpes paling sering dijumpai pada penderita AIDS dan ARC. Infeksi virus pada penderita dapat terlihat berupa stomatis herpetiformis, herpes zoster, hairy leukoplakia, cytomegalovirus.
3.2.3 Infeksi karena bakteri
Infeksi karena bakteri dapat berupa HIV necrotizing gingivitis maupun HIV periodontitis.
a. HIV necrotizing gingivitis
HIV necrotizing gingivitis dapat dijumpai pada penderita AIDS maupun ARC. Lesi ini dapat tersembunyi atau mendadak disertai pendarahan waktu menggosok gigi, rasa sakit dan halitosis.

Tulisan di atas masih belum lengkap keterangannya, untuk hasil yang lebih lengkap dan jelas dalam bentuk PDF, silahakan download disini
Read More..

Popular Posts

Berita Hari Ini