Translate
Cara Melanjutkan Baca
cara downlaod File :
1. klik file yang akan di download
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
3. klik unduh
4. lalu tunggu 20 detik mengunduh file tersebut
atau cuma ingin melanjutkan BACA Blog :
1. klik file yang akan di buka
2. tunggu sampai muncul "SKIP AD" (pojok kanan atas) dan klik "skip ad"
Blog Archive
-
▼
2012
(21)
-
▼
Desember
(14)
- Gagal Jantung Kongestif (CHF)
- PERLINDUNGAN HUKUM BAGI PEKERJA YANG DI PHK KARENA...
- Contoh Kesimpulan Termohon pada Pengadilan Agama
- Contoh Surat Kuasa Termohon pada Pengadilan Agama
- Contoh Surat Kuasa Pemohon pada Pengadilan Agama
- Skrip Sidang di Pengadilan Agama
- Contoh Surat Replik
- Contoh Surat Duplik
- Soal dan Jawaban Untuk Tugas PTUN
- Definisi Perceraian
- PROPOSAL SEMINAR PSIKOLOGI INDUSTRI DAN ORGANISASI
- Clixsense no SCAM!!!
- Dinamika Hukum Islam Di Indonseia (Strategi Teorit...
- Ayuwage PTC Tidak Scam!!!
-
▼
Desember
(14)
http://seputarduniapengetahuan.blogspot.com/. Diberdayakan oleh Blogger.
Mengenai Saya
Pengunjung Saya
Pengikut
Jumat, 28 Desember 2012
PEMBAHASAN
Pengertian
Perceraian
Pengertian perceraian
menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut
istilah (syara’) perceraian merupakan sebutan untuk melepaskan ikatan
pernikahan. Sebutan tersebut adalah lafadz yang sudah dipergunakan pada masa
jahiliyah yang kemudian digunakan oleh syara’.[1]
Dalam istilah Fiqh
perceraian dikenal dengan istilah “Talak” atau “Furqah”. Talak berarti membuka
ikatan atau membatalkan perjanjian. Sedangkan Furqah berarti bercerai yang merupakan lawan kata dari berkumpul.[2]
Perkataan Talak dan Furqah mempunyai pengertian umum dan
khusus. Dalam arti umum berarti segala macam bentuk perceraian yang dijatuhkan
oleh suami, yang ditetapkan oleh hakim. Sedangkan dalam arti khusus ialah perceraian yang dijatuhkan
oleh pihak suami.
Menurut HA. Fuad Sa’id
yang dimaksud dengan perceraian adalah putusnya perkawinan antara suami dengan
istri karena tidak terdapat kerukunan dalam rumah tangga atau sebab lain,
seperti mandulnya istri atau suami dan setelah diupayakan perdamaian dengan
melibatkan keluarga kedua belah pihak.[3]
Disisi lain penyusun juga
meniliti ketentuan hukum perceraian yang berbeda di Indonesia, antara lain:
a.
Menurut
Al Qur’an
Allah
SWT telah menetapkan ketentuan dalam Al-Quran bahwa kedua pasangan suami isteri
harus segera melakukan usaha antisipasi apabila tiba-tiba timbul gejala-gejala
dapat diduga akan menimbulkan ganggungan kehidupan rumah tanganya, yaitu dalam
firman-Nya yang artinya :
“Kaum
laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah
melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita),
dan karena mereka (lakilaki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka.
Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara
diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).
Wanita-wanita yang kamu khawatirkan Nusyu’z-nya, maka nasehatilah mereka dan
pisahkanlah mereka di tempat tiduyr mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika
mereka mentaatimu, maka jangalah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.
Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Al Quran Surat An-Nisa’ ayat
34)
Selanjutnya
Allah SWT dalam firman-Nya, yaitu Surat An-Nisa’ ayat 128 :
“Dan
jika seorang weanita khawatir akan Nusyu’z atau sikap tidak acuh dari suaminya,
maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya,
dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut
tabiatnya kikir, Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan
memelihara dirimu (dari Nusyu’z dan sikap tidak acuh), maka sesungguhnya Allah
adalah Maha Mengetahui apa
yang
kamu kerjakan.”
Apabila
usaha antisipasi melalui ayat-ayat tersebut tidak berhasil mempertahankan
kerukunan dan kesatuan ikatan perkawinan dan tinggallah jalan satu-satunya
terpaksa harus bercerai dan putusnya perkawinan, maka ketentuan yang berlaku
adalah Surat Al-Baqarah ayat 229 :[4]
“Talaq
(yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang
ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil
kembali dari sesuatu yang tidak kamu berikan kepada mereka, kecuali keduanya
khawatir tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa
keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak
ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus
dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa
yang melanggar hokum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim” (Surat
Al- Baqarah ayat 229).
Makna
yang terkandung dalam Surat Al-Baqarah ayat 229 adalah sebagai berikut :[5]
1) Sebenarnya
perceraian itu bertentangan dengan makna perkawinan itu sendiri, sehingga jika
terjadi perceraian, maka sangat wajar sekali jika seandainya mereka yang
bercerai ini bersedia untuk rukun dan rujuk kembali menyusun kesatuan ikatan
perkawinan mereka lagi;
2) Perceraian
yang boleh rujuk kembali itu hanya dua kali, yaitu talaq ke-satu dan talaq
ke-dua saja. Oleh karena itu terhadap talaq ke-tiga tidak ada rujuk lagi,
kecuali setelah dipenuhinya persyaratan khusus untuk ini;
3) Syarat
atas kedua orang suami-isteri yang bercerai dengan talaqtiga, untuk bisa
melakukan rujuk kembali itu di dalam Surat Al- Baqarah ayat 230;
4) Jika
terjadi perceraian, maka suami dilarang mengambil harta yang pernah diberikan
kepada isterinya yang dicerai itu, kecuali atas dasar alasan yang kuat;
5) Jika
isteri mempunyai alasan syari’at yang kuat, maka dapat dibenarkan isteri
meminta cerai dengan cara khulu’, yaitu suatu perceraian dengan
pembayaran tebusan oleh isteri kepada suami;
6) Allah
SWT sudah mengatur segala sesuatunya, termasuk masalah perkawinan dan
hubungannya dengan berbagai macam masalah yang terkait;
7) Barang
siapa yang melanggar hukum Allah SWT, sebenarnya dia itu bahka menyiksa diri
sendiri dengan perbuatan zhalim.
b.
Menurut
Al Hadist
Menurut
asalnya Thalaq itu hukumnya makruh berdasarkan Hadist Rasulullah SAW,
yaitu Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah thalaq. (HR.
Abu Daud dan Al-Hakim). Selanjutnya dalam hadist lain Rasulullah SAW
bersabda Perempuan mana saja yang meminta kepada suaminya untuk cerai
tanpa ada alasan apa-apa, maka haram atas dia baunya surga. (HR.
Turmudzi dan Ibnu Ma’jah).
c.
Menurut
Peraturan Perundang-undangan
Meskipun
perkawinan dimaksudkan untuk membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan
rahmat bagi pasangan suami isteri yang memeluk agama Islam, namun dalam
perjalanan kehidupan rumah tangganya juga dimungkinkan timbulnya permasalahan
yang dapat mengakibatkan terancamnya keharmonisan ikatan perkawinannya. Bahkan
apabila permasalahan tersebut tidak memungkinkan untuk dirukunkan kembali,
sehingga keduanya sepakat untuk memutuskan ikatan perkawinannya melalui
perceraian. Sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP)
berlaku, perkawinan diatur dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) termasuk ketentuan tentang putusnya perkawinan (perceraian). Dengan
berlakunya Undang - Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, maka
ketentuan dalam Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) tentang
perkawinan tidak berlaku. Buku I Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH
Perdata) maupun Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak
terdapat pengertian tentang perceraian, hanya mengatur tentang putusnya
perkawinan serta akibatnya. Pasal 39 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan mengatur tentang putusnya perkawinan yang menyatakan bahwa:
“perkawinan
dapat putus karena :
1. Kematian;
2. Perceraian;
3. Atas
putusan Pengadilan.
Sedangkan
menurut Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan hanya mengatur tentang tata
cara perceraian, yaitu dalam Pasal 14 yang menyatakan bahwa:
“seorang
suami yang telah melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, yang akan
menceraikan isterinya, mengajukan surat kepada Pengadilan di tempat tinggalnya,
yang berisi pemberitahuan bahwa ia bermaksud menceraikan isterinya disertai
dengan alasan-alasannya, serta meminta kepada Pengadilan agar diadakan sidang
untuk keperluan itu”.
Alasan-alasan
yang dimaksud dalam Pasal 14 tersebut adalah sebagai berikut sebagaimana diatur
dalam Pasal 19 UUP, yaitu :
a) Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sukar disembuhkan;
b) Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya;
c) Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukum lebih berat
setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah
satu pinak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain;
e) Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri;
f) Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak
ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa perceraian adalah lepasnya ikatan perkawinan
dan berakhirnya hubungan perkawinan.
d.
Menurut
Kompilasi Hukum Islam
Perceraian
merupakan salah satu penyebab putusnya perkawinan. Hal ini sesuai ketentuan
Pasal 113 KHI, yang mengatur bahwa putusnya perkawinan dapat dikarenakan 3
(tiga) alasan sebagai berikut:
1) Kematian;
2) Perceraian;
3) Putusan
Pengadilan.
Menurut Pasal 114 KHI menyatakan bahwa putusnya
perkawinan yang disebabkan karena perceraian dapat terjadi karena talak oleh suami
atau gugatan perceraian oleh isteri. Selanjutnya menurut Pasal 115 KHI
menyatakan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan
Agama setelah pengadilan tersebut berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Selanjutnya dalam Pasal 116 KHI alasan-alasan terjadinya perceraian
pasangan suami isteri dapat disebabkan karena:
a) Salah
satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi, atau lain
sebagainya yang sulit disembuhkan;
b) Salah
satu pihak meninggalkan pihak lain selama, 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa
izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya;
c) Salah
satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih
berat setelah perkawinan berlangsung;
d) Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain;
e) Salah
satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak menjalankan
kewajibannya sebagai suami atau isteri;
f) Terjadi
perselisihan dan pertengkaran antara suami isteri secara terus menerus dan
tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangganya;
g) Suami
melanggar taklik-talak. Adapun makna taklik-talak adalah perjanjian yang
diucapkan oleh calon mempelai pria setelah akad nikah yang dicantumkan dalam
Akta Nikah berupa janji talak yang digantungkan kepada suatu keadaan tertentu
yang mungkin terjadi di masa yang akan datang;
h) Terjadinya
peralihan agama atau murtad oleh salah satu pihak yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Perceraian yang terjadi karena talak suami
isterinya ditandai dengan adanya pembacaan ikrar talak, yaitu ikrar suami di
hadapan sidang Pengadilan Agama yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan
dan dilakukan sesuai tata cara perceraian yang diatur dalam Pasal 129, 130, dan
131 (Pasal 117 KHI). Sedangkan macammacam perceraian yang dikarenakan talak
suami terdiri dari:[6]
1) Talak
Raj’i yaitu talak kesatu atau kedua, dimana suami berhak
rujuk selama isteri dalam masa iddah (Pasal 118 KHI).
2) Talak
Ba'in yang dapat dibedakan atas talak Ba'in shughraa dan
talak Ba'in kubraa (Pasal 119 KHI):
a) Talak
ba'in shughraa adalah talak yang tidak boleh dirujuk
tetapi diperbolehkan akad nikah baru dengan mantan suaminya meskipun dalam masa
iddah.
Adapun
jenis talak ba'in shughraa dapat berupa:
·
Talak yang terjadi dalam keadaan qobla
al dukhul (antara suami isteri belum pernah
melakukan hubungan seksual selama perkawinannya).
·
Talak dengan tebusan atau khuluk,
yaitu perceraian yang terjadi atas permintaan isteri dengan memberikan tebusan
(iwadi) kepada suaminya atas persetujuan suami pula.
·
Talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Agama.
b) Talak
Ba'in kubraa adalah talak yang terjadi untuk ketiga
kalinya.
Talak
jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahi kembali, kecuali apabila
pernikahan itu setelah mantan isteri menikah dengan orang lain dan kemudian
terjadi perceraian ba'da al dukhul dan habis masa iddahnya (Pasal 120
KHI).
3) Talak
Sunny, yaitu talak yang diperbolehkan dan talak tersebut
dijatuhkan isteri yang sedang suci serta tidak dicampuri dalam waktu suci
tersebut (Pasal 121 KHI).
4) Talak
Bid'i, yaitu talak yang dilarang, karena talak tersebut
dijatuhkan pada waktu isteri dalam keadaan haid, atau isteri dalam keadaan suci
tetapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut (Pasal 122 KHI).
5) Talak
Li'an yaitu talak yang terjadi karena suami menuduh
isterinya berbuat zina atau mengingkari anak dalam kandungan atau anak yang
sudah lahir dari kandungan isterinya, sedangkan isterinya menolak atau
mengingkari tuduhan tersebut. Jenis talak Li'an ini menyebabkan putusnya
perkawinan antara suami isteri untuk selama-lamanya (Pasal 125 dan Pasal 126
KHI).
Mengingat putusnya perkawinan yang dikarenakan talak
suami terhadap isterinya terdapat beberapa macam yang tidak seluruhnya dapat
dirujuk kembali, sehingga diperlukan pertimbangan yang bersifat prinsipal bagi
seorang suami sebelum menjatuhkan talaknya. Demikian halnya dalam ajaran agama
Islam, talak meupakan perbuatan halal tetapi dibenci oleh Allah SWT. Oleh
karena itu menurut Mahmud Junus diperlukan alasanalasan bagi suami untuk
menjatuhkan talaknya terhadap isterinya yang diperbolehkan dan tidak dibenci oleh
Allah SWT, terdiri dari:[7]
a) Isteri
berbuat zina;
b) Isteri
nusjuz, setelah diberi nasihat dengan segala daya upaya;
c) Isteri
suka mabuk, penjudi, atau melakukan kejahatan yang mengganggu keamanan rumah
tangga;
d) Sebab-sebab
lain yang sifatnya berat sehingga tidak memungkinkan untuk mendirikan rumah
tangga secara damai dan teratur.
[1]
Imam Taqiyuddin Abu Bakar
Bin Muhammad Al-Husaini, Kifayatul Akhyar,
Surabaya: Bina Imam 1993, juz.11, hlm. 175.
[2]
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam Dan Undang-undang
Perkawinan No.1 Tahun 1974, Yogyakarta: PT.Liberti, 2004, hlm. 103.
[3]
Abdul Manan, Problematika Perceraian Karena Zina dalam
Proses Penyelesaian Perkara di Lingkungan Peradilan Agama, dalam Jurnal
Mimbar Hukum, al-Hikmah & DITBINBAPERA, Jakarta. No. 52 Th XII 2001 hlm. 7.
[4] Mahmuda Junus, Hukum
Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali. (Jakarta
: Pustaka Mahmudiyah, 1989), Hal. 163-167
[5]
Al Hamdani, Risalah Nikah, (Jakarta : Pustaka Amani, 2002), Hal. 202
[6] Muhamad
Idrus Ramulya, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi Akasara,
1990).Hal. 154
[7] Mahmud Junus, Hukum
Perkawinan Islam Menurut Mazhad : Sayfi’I, Hanafi, Maliki dan Hambali.. Hal.
113
Related Post
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
1. Sebutkan dasar hokum a) Kekuasaan Kehakiman? b) Pengadilan Tata Usaha Negara? Jawab: a) Kekuasaan Keh...
-
KANTOR ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM ACHMAD ZAINUDDIN, S.HI., M.HUM. & ASSOCIATES Alamat : Jl. Adi Sucipto No. 007 Yogyakarta ...
-
PUSAT STUDI DAN KONSULTASI HUKUM (PSKH) ACHMAD ZAINUDDIN, S.HI., M.HUM. & ASSOCIATES Alamat : Jl. Adi Sucipto No. 007 Yogyakarta...
-
PEMBAHASAN Pengertian Perceraian Pengertian perceraian menurut bahasa Indonesia berarti “pisah” dari kata dasar “cerai”. Menurut...
-
ANTOR ADVOKAT DAN KONSULTAN HUKUM ABDUL JABBAR, SH., M.HUM. & ASSOCIATES Jl. Timoho No. 43 Yogyakarta Telp. 081215532802 ...
0 komentar:
Posting Komentar